Hari pernikahan semakin dekat dan akupun semakin gelisah, rasa cintaku kepada Dimas semakin mendalam namun aku tidak ingin menyakiti Rico dan keluarga kami.

Aku sangat terpukul, aku sangat merasa bersalah saat itu. Tidak seharusnya aku membalas dendam kepada suamiku.

Sejak hari itu, antara kami berdua telah berbeda. Aku menemukan kenyamanan tanpa penghakiman dari sosoknya.

Cacian hanyalah salah satu mutiara yang bakal mempermanis kalung kepribadianmu.

Kami sama-sama tak di posisi yang bisa menikah cepat. Kami mungkin siap secara psikis, namun bekal kami kurang.

Tiga bulan lamanya saya tidak mampu melihat dunia luar, takut melangkahkan kaki keluar pintu, bahkan mengintip lewat jendela pun saya tidak bisa.

Aku yang diam, menjadi topeng untuk menghalau berbagai celaan yang terlontar tanpa pernah tahu rasa sesak di dalam batinku ini.

Memang benar aku tidak lagi menyakiti diriku sendiri secara fisik, tapi kalau aku terus bertahan dengan orang seperti ini, sama saja dengan aku menyakiti diriku sendiri secara psikis.

Manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan, akan tetapi orang yang baik adalah orang yang mau mengakui dan memperbaiki kesalahannya.

Uang 700 ribu rupiah dilemparkan dengan cara dihamburkan tanda tidak ikhlasnya. Bapakku memungutinya lembar demi lembar dengan hati hancur menimbang antara harga diri dan mewujudkan harapanku yang keras.

Pernikahan di bawah tangan, itulah yang akhirnya mereka lakukan karena ibuku tidak ingin melepas laki-laki yang selama 35 tahun dicintainya.

Tapi begitulah aku setelah mengalami kejadian itu. Aku merasa waspada yang berlebihan kepada laki-laki.