Mereka tidak tahu kalau saat ini aku sedang berjuang untuk menyembuhkan luka, luka yang masih menganga di dalam hati.

Aku masih mencintainya dengan perasaan yang tak pernah berubah dari dulu meskipun luka yang begitu dalam telah kudapatkan.

Suatu hari, saat aku bertemu dengan kawan baruku di kampus dia bertanya padaku, “Kapan kamu akan jadi cewek?”

Saat itulah pertama kali seumur hidupku aku lihat ayahku menangis, rasanya hatiku hancur batinku memberontak.

Aneh memang, ketika keluarga dan saudaraku sendiri belum berpikiran di umurku yang masih sangat muda ini untuk menikah, tetapi malah orang lain yang sibuk dengan urusan pribadiku itu.

Dia memanipulasi keadaan agar tangannya tetap bersih dalam hubungan.

Pelan-pelan aku menarik diri. Aku selalu berpikir orang-orang yang tidak mengerti keadaanku hanya akan membuat penilaian berdasarkan sudut pandangnya sendiri.

Aku tidak butuh pernikahan yang mewah, gaun mahal, sepatu mahal, aku hanya menginginkan sebuah acara pernikahan yang indah, suci, dan sakral.

Pertanyaan “Kapan?”ternyata jauh lebih menyeramkan dari hantu valak di film The Conjuring 2.

Mereka hanya ingin tahu, menjadikan bahan gosip, lalu kembali membuat persepsi dengan apa yang hanya dilihat dari dunia social media.

Jodohku menjauh karena aku memilih merantau di daerah terpencil? Adakah kasus yang seperti itu?

Pernikahan menjadi momok tersendiri buatku, trauma akan kehidupan pernikahan orang-orang di sekitarku membuatku berpikir kembali atas pernikahan.