Butiran air matanya mengalir deras di penghujung malam, membasahii sajadah di setiap sujud salat tahajudnya.

Beberapa orang mengatakan, ”Buat apa sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya masuk dapur."

Banyak tangis yang menyertai awal langkah besarku dalam pernikahan.

Setelah melahirkanku, ibu tidak lagi bisa mengharapkan anak selanjutnya.

Aku ingin memperjuangkan senyuman-senyuman indah itu, aku bahkan selalu berusaha mengingat-ingat senyuman-senyuman itu.

Air mata Ibu mengalir, dan pandangan matanya lurus ke depan, seolah sedang melihat kejadian di masa lalu.

Aku harus menyesuaikan diri dengan pasangan hidup. Dari selera makan, hobi, sampai hal-hal remeh seperti model baju.

Beliau selalu bilang, “Perempuan harus kuat, tidak boleh mengeluh," begitu yang diucapkannya bila kutegur untuk istirahat.

Sebelum aku benar-benar mengundurkan diri, atasanku di kantor yang juga mantan dosenku menyarankan agar aku mengajukan beasiswa ke salah satu perusahaan perbankan.

Ia pernah mengalami sakit parah dan tak satupun orang yang berada di sampingnya.

Yang paling menyedihkan adalah ketika dua hati yang sudah saling sayang dan cinta harus terpisah karena takdir yang tak berkehendak.

Aku mematutkan diri bahwa aku tak pantas untuk terus dikuasai kesedihan. Aku harus bangkit.