Tanggal 22 Agustus 2008 jam 10 pagi adalah tanggal di mana akhirnya perjuangan Mama berakhir. Dua hari setelah aku berulang tahun ke 18 tahun.

Melihat kerja keras mereka hanya untuk hidupku membuatku yakin dan semangat untuk mencapai cita-cita meskipun ke sekolah harus jalan kaki dengan jarak 7 km.

Ibarat batu karang yang terhempas ribuan kali oleh deburan ombak, ia tetap diam di tempatnya berada.

Kesempatan untuk membalas segala yang engkau berikan bahkan belum sempat kulakukan, walaupun aku tahu takkan mampu aku membalas semua hal yang telah engkau lakukan.

Miskin harta tak membuat kami miskin ilmu. Di sekolah, aku dan saudara-saudaraku termasuk siswa berprestasi.

Jauh setelahnya aku baru mengetahui semua drama penuh air mata karena putusnya hubungan kami itu dia lakukan untukku, demi kebahagiaanku.

Alih-alih memberi jawaban memuaskan, Mamah malah menyentak saya, “Dasar! Memangnya siapa yang mau mengabadikan foto menyedihkan?”

Baru beberapa bulan SMK Palapa berjalan, papa divonis kanker paru stadium akhir. Semenjak itu, konsentrasi mama terpecah.

Aku tidak tega, aku ingin melihatnya menikmati hidup. Tetapi beliau bilang, "Mamak mau kerja bantu kamu, nanti uang kamu untuk bangun rumah aja."

Belum lulus kuliah aku memutuskan untuk menikah. Papah dan mamah melarang, tidak setuju.

Aku pun tidak pernah menyangka, ternyata kehidupan yang sempat kami alami bukan hanya ada di drama-drama saja, namun ada di kehidupan nyata.

Dia mengatakan apapun yang dia korbankan waktu dulu bukanlah sebuah penyesalan, itu adalah anugerah.