Saat usia kehamilanku mencapai 7 bulan, aku justru ditinggal begitu saja setelah paginya mengantarkan aku bekerja di sebuah sekolah negeri di kotaku.

Bukanlah salahmu telah membuatku jatuh cinta. Bukanlah salahmu membuatku menjadi berharap.

Hari pernikahan semakin dekat dan akupun semakin gelisah, rasa cintaku kepada Dimas semakin mendalam namun aku tidak ingin menyakiti Rico dan keluarga kami.

Aku sangat terpukul, aku sangat merasa bersalah saat itu. Tidak seharusnya aku membalas dendam kepada suamiku.

Sejak hari itu, antara kami berdua telah berbeda. Aku menemukan kenyamanan tanpa penghakiman dari sosoknya.

Kami sama-sama tak di posisi yang bisa menikah cepat. Kami mungkin siap secara psikis, namun bekal kami kurang.

Aku yang diam, menjadi topeng untuk menghalau berbagai celaan yang terlontar tanpa pernah tahu rasa sesak di dalam batinku ini.

Memang benar aku tidak lagi menyakiti diriku sendiri secara fisik, tapi kalau aku terus bertahan dengan orang seperti ini, sama saja dengan aku menyakiti diriku sendiri secara psikis.

Tak peduli sebesar apapun usahamu untuk memiliki atau mempertahankannya, jika memang bukan untukmu, maka ia tetap akan pergi.

Belum sah sudah bertingkah berlebihan, dan membuatku semakin panik saja melihat kelakuan dia terhadap kakakku.

Bukti cinta bukanlah ucapan obral I Love You, tapi membawa ‘tim keluarga’ ke rumah untuk melamar!

Aneh memang saya masih mencintai orang yang buruk perilakunya, tetapi sudah telanjur cinta dan cinta ini sungguh membutakan saya.