Di balik tampilanku yang santai mungkin orang lain tidak mengetahui seberapa kerasnya aku berusaha, berdoa dan selalu berpikir positif untuk bisa menikah.

Sedih sebenarnya belum bisa memenuhi keinginan keluarga. Terutama orangtua yang memiliki anak perempuan semata wayang.

Cinta yang kami jaga selama bertahun-tahun mulai terhempas oleh tuntutan orangtua mengenai status pekerjaan dan perbedaan prinsip cara memuji Tuhan.

Tanya kapan pun menjadi kenapa, kenapa sampai detik ini masih sendiri, kenapa takdirku tak sama dengan mereka?

Aku ingin menikah saat hati ini benar-benar siap, siap menerima seseorang yang mampu aku percayai untuk menjalani hidup berdua dengannya sampai akhir sisa hidupku kelak.

Saya juga tidak mau nantinya malah menjadikan pasangan baru saya sebagai pelampiasan.

Di sisi lain aku juga memikirkan kedua orangtuaku yang semakin bertambah umur dan ingin segera menimang cucu.

Orangtuaku khawatir jika adikku yang terlebih dahulu menikah dibandingkan aku.

Menjadi wanita yang berumur 28 tahun, belum bekerja dan belum menikah pertanyaan “kapan” selalu memiliki makna lain dalam hidup saya.

Ditanya kapan nikah bukan akhir segalanya.

Sejatinya keberhasilan dalam membangun keluarga bukanlah didasarkan atas cepat atau lambatnya menikah.

Mereka tidak tahu kalau saat ini aku sedang berjuang untuk menyembuhkan luka, luka yang masih menganga di dalam hati.