Aku masih ingat awal mula aku praktik, aku benar-benar takjub dengan seorang Ibu, untuk pertama kalinya aku melihat seorang Ibu melahirkan dengan penuh perjuangan.

Dia mengajakku menjalin hubungan kembali, namun dengan syarat aku harus berhenti menyukai Korea dan berhenti ber-style ala Korea.

Ketika dia menyatakan perasaannya di situlah kuajukan pertanyaan super sensitif itu dan ternyata iman kami berbeda.

Kenapa dia tak jujur denganku waktu itu? Padahal aku tak mungkin akan mencintainya, jika dia masih pacar orang.

Aku takut durhaka pada Ibuku. Tapi… aku mencoba bertahan dengan kekasihku walaupun secara sembunyi-sembunyi dari Ibuku.

Jelang dua tahun menjadi seorang wartawan, aku mengalami kecelakaan yang kali ini tergolong dahsyat hingga patah kaki.

Di tengah pergulatan saya mencari pekerjaan yang saya inginkan selama ini, Ibu saya juga sedang berjuang melawan penyakit dan saya tidak bisa berada di sisinya.

Saya menyadari bahwa saya akan berjalan melawan arus, sehingga saya akan berjuang sendirian tanpa ada support.

Aku tahu kesuksesan itu tidak bisa kita dapatkan hanya dengan semalam.

Kadang jadi orang miskin itu tak enak karena direndahkan dan tak banyak yang mau dekat-dekat padahal miskin tak menular.

Hanya akad sederhana yang kami adakan, mahar pun hanya berupa gelang emas 5 gram tanpa cincin kawin.

Menurutku lebih baik aku hidup sendiri saja seumur hidup daripada mencoba lagi tapi nyatanya mereka para lelaki hanya akan menyakitiku lagi dan lagi.