Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, dalam beberapa tahun terakhir, ada tren yang semakin ramai dibicarakan, Terutama di kalangan anak muda, yaitu "Marriage is Scary." Tren ini mengungkapkan ketakutan dan keraguan yang dirasakan oleh generasi muda terhadap pernikahan. Bagi banyak orang, pernikahan bukan lagi dianggap sebagai tujuan hidup yang harus dicapai, melainkan sebagai keputusan besar yang perlu dipikirkan matang-matang.
Ketakutan terhadap pernikahan ini bisa berasal dari berbagai faktor, mulai dari kekhawatiran tentang komitmen jangka panjang hingga ketidakpastian ekonomi. Ditambah lagi, tekanan sosial untuk menikah, terutama di usia tertentu, justru sering kali membuat pernikahan terasa lebih seperti beban daripada anugerah.
Advertisement
Advertisement
Angka Perceraian yang Mencerminkan Kekhawatiran
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa, pada tahun 2023, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 463.654 kasus, mengalami penurunan sebesar 10,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencatatkan 516.344 kasus. Meskipun terjadi penurunan, angka ini masih tetap tinggi dan menunjukkan bahwa perceraian menjadi salah satu solusi yang diambil oleh banyak pasangan di Indonesia ketika menghadapi masalah dalam pernikahan.
Yang menarik, 76% dari kasus perceraian ini adalah cerai gugat, di mana pihak istri yang mengajukan perceraian. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak perempuan di Indonesia yang merasa tidak puas atau tidak nyaman dengan pernikahan mereka, dan memilih untuk mengakhirinya.
Mengapa Pernikahan Menjadi Menakutkan?
Banyak alasan yang membuat pernikahan menjadi sesuatu yang ditakuti. Salah satunya adalah ketakutan akan kegagalan. Tingginya angka perceraian seperti yang tercermin dari data BPS, menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang, terutama generasi muda, merasa takut untuk menikah. Mereka khawatir pernikahan yang dimulai dengan harapan besar justru berakhir dengan rasa sakit dan penyesalan.
Selain itu, perubahan dinamika sosial dan ekonomi juga turut berperan. Generasi muda kini lebih fokus pada pengembangan diri, karir, dan kebebasan pribadi. Mereka melihat pernikahan sebagai komitmen yang bisa menghalangi pencapaian tujuan-tujuan pribadi tersebut.
Tidak hanya itu, bagi sebagian orang, pernikahan juga berarti pengorbanan besar, baik secara finansial maupun emosional. Kebutuhan untuk membiayai kehidupan bersama, mengelola rumah tangga, dan mungkin juga membesarkan anak, semuanya dianggap sebagai beban yang tidak ringan. Belum lagi, ada ketakutan akan kehilangan identitas pribadi atau kebebasan yang selama ini dinikmati.
Advertisement
Dampak Sosial dan Pandangan Baru terhadap Pernikahan
Fenomena "Marriage is Scary" tidak hanya berdampak pada angka pernikahan dan perceraian, tetapi juga mengubah cara pandang masyarakat terhadap pernikahan itu sendiri. Banyak orang kini lebih memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali. Mereka memilih untuk fokus pada kebahagiaan pribadi dan stabilitas emosional.
Namun, bukan berarti pernikahan kehilangan maknanya sepenuhnya. Masih banyak pasangan yang menjalaninya dengan komitmen yang kuat dan berhasil mengatasi berbagai tantangan. Bagi mereka yang siap, pernikahan tetap bisa menjadi perjalanan hidup yang penuh makna dan kebahagiaan.
Sahabat Fimela, penting bagi kita untuk lebih memahami dan mendekati isu pernikahan dengan perspektif yang lebih terbuka dan inklusif. Setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri, termasuk dalam memilih untuk menikah atau tidak. Yang terpenting adalah menjaga keseimbangan antara harapan, realita, dan kebahagiaan pribadi.