Fimela.com, Jakarta Bulan Ramadan senantiasa menghadirkan banyak kenangan dan kisah yang berkesan. Baik itu suka maupun duka, haru atau bahagia, selalu cerita yang sangat lekat dengan bulan suci ini. Cara kita memaknai bulan Ramadan pun berbeda-beda. Tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories bulan April dengan tema Light Up Your Ramadan ini pun mengandung hikmah dan inspirasi yang tak kalah istimewa.
***
Oleh: fuatuttaqwiyah channel
Advertisement
Ramadan mengingatkanku pada satu peristiwa yang menguras emosi dan hatiku. Peristiwa itu sudah 12 tahun berlalu. Namun, hikmah yang kudapat menjadikanku kuat dan tegar seperti sekarang.
Aku masih ingat hari itu. Kira-kira dua atau tiga hari jelang memasuki bulan Ramadan. Tiba-tiba pernikahan yang kuimpikan kandas untuk kali kedua.
Ketika pernikahan tertunda untuk kali perdana, aku masih bisa menerima dengan lapang dada. Mungkin kala itu kami belum siap baik secara fisik, mental, dan finansial.
Namun, ketika pernikahan kembali tertunda untuk kali kedua, kuputuskan untuk berhenti berharap alias berpisah. Buat apa menunggu janji pernikahan yang ujung-ujungnya ditunda lagi?
Memilih Putus Hubungan Kekasih
Aku berprinsip kalau pernikahan ditunda untuk kali kedua, berarti dia enggak serius dan tidak pernah serius untuk menikah denganku apa pun alasannya.
Jangan dikira hatiku kuat kala itu, aku rapuh. Aku menangis sepanjang hari ketika keputusan itu kubuat.
Usai menangis, Ramadan pun tiba. Kugunakan waktu sebulan penuh untuk menata hati, iman, mental, dan jiwaku.
Kututup akses tentangnya. Kuhapus semua pesannya di ponselku. Kuhapus fotonya dari ponselku. Semua tentangnya sudah usai dan tutup buku.
Sebulan aku bersedih. Aku biarkan diriku tenggelam dalam duka karena asmara. Namun, aku segera sadar. Aku harus bangkit.
Advertisement
Bangkit di Bulan Ramadan
Momen Ramadan kugunakan untuk mengisi energi positif. Kubiarkan diriku bahagia. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an, bersilaturahmi dengan saudara, mengunjungi nenek tercinta, dan beribadah dengan khusyuk.
Daripada mengeluh dan protes kepada Allah, aku justru memilih bersyukur. Aku bersyukur terlepas dari pria itu. Aku bersyukur, Ramadan bisa kuisi dengan maksimal beribadah dan berbuat kebaikan kepada sesama dan anak yatim.
Aku bersyukur bisa khusyuk beribadah tanpa harus membalas pesannya atau dag dig dug menunggu pesan atau telepon darinya. Aku menjadi manusia merdeka.
Tanpa pasangan aku bahagia. Ada Allah yang Maha Segalanya.
Jalan Baru
Aku juga bersyukur, karena putus darinya, aku menemukan jalan baru. Ya, aku kembali menekuni dunia lamaku, menulis.
Kucurahkan semua keluh kesah, sumpah serapah, sampah di kepala ke dalam tulisan. Jangan dikira langsung jadi. Enggak. Aku nulis masih asal-asalan karena mengikuti suasana hati.
Tidak semua tulisan kusimpan. Sebagian kubuang atau hanya menjadi koleksi di buku harian.
Aku berjuang dari nol untuk menulis kembali. Tanganku pun awalnya kaku merangkai kata. Banyak kalimat yang tidak menyambung. Awal dan ujungnya enggak jelas.
Aku bersyukur, Allah memberiku petunjuk dan jalan yang lurus. Akhirnya aku bisa menjalani profesi sebagai penulis hingga kini.
Kalau Ramadan tahun itu, aku memilih terpuruk, selamanya aku hanya akan menjadi manusia biasa saja. Namun, aku memilih bangkit dan hasilnya bisa kunikmati seperti sekarang.
Aku bahagia dengan hidupku. Aku menikmati kehidupan. Aku merayakan Ramadan dengan bahagia.
#WomenforWomen