Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan selalu memiliki kisahnya sendiri. Caranya untuk berjuang tentu tak sama dengan yang lainnya. Perempuan berdaya dan hebat dengan caranya masing-masing. Tiap pengalaman dan kisah pun memiliki inspirasinya sendiri seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba The Power of Women: Perempuan Berdaya dan Hebat adalah Kamu berikut ini.
BACA JUGA
Advertisement
***
Oleh: Astatik Bestari
Terlalu percaya diri saya menyebut diri saya demikian. Tidak bermaksud ujub, merawat suami tanpa kepercayaan diri, menyebabkan ragu dalam menjalankan tugas kemanusiaan ini. Ragu pula dalam mengambil keputusan untuk menyetujui tindakan medis yang dilakukan pihak rumah sakit kepada suami. Ya, saya harus percaya diri.
Percaya diri pada saat yang dibutuhkan akan menyimpan rasa sungkan dan gengsi saya ketika melibatkan orang lain dalam melaksanakan tugas merawat suami. Sungkan dan gengsi tidak menyelesaikan masalah, kalau nyatanya saya memang butuh dibantu.
Saya selalu minta tolong ke Pak Di, seorang sopir ambulans desa yang mengantar kami kontrol rutin pasca kaki kiri suami diamputasi. Sejak beliau tak bisa duduk demi menahan rasa sakitnya, saya putuskan memakai ambulans desa saja untuk membawa beliau kontrol kesehatannya secara berkala atau saat kondisi darurat butuh ke UGD secepatnya.
Tiap kali saya meninggalkan suami di atas stretcher ambulans mengurusi administrasi di rumah sakit, Pak Di-lah yang menjaga beliau. Tak mungkin saya membawa beliau menyusuri lorong rumah sakit. Beliau masih sering kelelahan dan kesakitan. Saya sendiri tak bisa bergerak cepat jika mendorong stretcher ambulance ke sana ke mari. Rasanya tidak mungkin.
"Pak Di, mangke Njenengan bantu kulo nunggu Pak Adib gih. Kados biasa e!" Ini pesan yang saya sampaikan ke Pak Di ketika saya turun dari ambulance sebelum beliau turun bersama stretcher ambulance dibantu Pak Di dan perawat rumah sakit.
"Gih, Bu guru. Tapi kulo tak markir niki riyen gih?" Kesanggupan yang melegakan ini selalu saya terima ketika saya menggunakan jasa ambulance desa.
Suami saya tinggal di ruang tunggu pasien bersama Pak Di usai keluar dari poli dalam. Saya melanjutkan menyerahkan resep obat. Loket obat untuk pengguna BPJS letaknya sangat jauh dari poli dalam dan poli bedah tempat suami kontrol pasca operasi. Saya melewati sekitar 6 poli layanan rumah sakit, loket obat, dan loket pendaftaran.
Advertisement
Membersamai Suami Setiap Waktu
Sebenarnya tidak saja membantu menemani beliau saat saya ke apotek, Pak Di juga membantu mendorong stretcher masuk ruang perawatan. Saya tidak begitu lihai menjalankan pembaringan beroda itu agar tepat berada di posisi yang diharapkan dokter.
Pasca opname yang cukup lama (30 hari) masih mewajibkan beliau untuk kontrol rutin. Beliau kontrol di poli penyakit dalam dilanjutkan ke poli bedah untuk memeriksa kondisi kaki pasca diamputasi. Beliau cukup kelelahan dengan proses kontrol seperti ini. Berbaring di atas stretcher tidak dapat bergerak bebas karena ukuran stretcher yang tidak lebar. Menunggu antri di 2 poli dan menunggu antri menyerahkan resep dokter ke loket obat. Kelelahan ini juga disumbang oleh perjalanan cukup jauh dari tempat tinggal kami menuju RSUD.
Di antara rutinitas kontrol ke RSUD, layanan home care seminggu dua kali juga beliau lalui. Home care kali ini tidak lagi membersihkan luka gangrene, tapi merawat kondisi bekas operasi agar tidak infeksi dan cepat sembuh. Layanan home care ini berlangsung 3 bulan.
Dalam 30 hari masa opname, beliau pernah direkom pulang oleh dokter yang merawatnya, 3 kali rekomendasi. Saya ragu untuk pulang dengan kondisi yang tak menampakkan hasil yang signifikan. Tiap dibolehkan pulang, saya bersegara datang ke ruang dokter, memastikan apa betul keputusan dokter memulangkan beliau ini. Alhamdulillah 3 kali rekom pulang bisa saya tolak dengan alasan-alasan yang bisa diterima tim dokter.
Dalam masa 30 hari itu , saya satu-satunya pihak keluarga yang mengambil keputusan apa pun terkait tindakan pihak rumah sakit. Sering merasa dilema, lama di rumah sakit meninggalkan anak-anak adalah beban yang amat berat. Sisi lain melihat kondisi beliau yang terus menurun saat itu bikin hati deg-deg khawatir.
Selain rasa keberpihakan yang tidak dapat diputuskan antara berat meninggalkan anak dan atau suami, saya juga khawatir dengan kuota supply albumin yang dibatasi pihak RS berjumlah 3 botol albumin saja dengan dana BPJS.
Setelah habis 3 albumin, saya disuruh beli sendiri. Yang bikin risau ini karena info dari perawat yang biasa mendampingi dokter saat memeriksa beliau bahwa harga albumin 2,5juta/ botol. Perawat juga ngomong bahwa tiap mau memberikan albumin kepada pasien BPJS, tidak bisa langsung direalisasikan. Tim medis menunggu dulu rekom direktur rumah sakit karena albumen tergolong obat mahal.
Albumin sudah diberikan 3 botol melalui selang infus, kadar albumin dalam tubuh beliau belum juga mencapai jumlah minimal untuk dapat menjalani tingkatan perawatan lebih baik dengan jalan operasi. Saya semakin gelisah. Bagaimana tidak gelisah, wong saya tidak menjalankan tugas profesi saya. Dapat pemasukan dana dari mana? Tabungan juga menipis untuk keluar masuk rumah sakit, home care, tambahan gizi dan kebutuhan anak-anak yang kami tinggal sendirian tanpa orangtua.
Merenungi itu semua rasanya tidak ada gunanya. Saya komunikasi lagi dengan tim dokter untuk memberikan suplemen setara albumin dalam masa menunggu keputusan pemberian albumin yang berbayar. Tentu saja suplemen membeli sendiri, bukan dari rumah sakit. Tim dokter tidak menyetujui rencana saya.
Tiga harian berikutnya, saya dapat kabar dari perawat kalau beliau dapat stock bantuan albumin 10 botol. Saya kaget, betul-betul keajaiban. Katanya kalau lebih 3 botol harus beli, ini tambah dapat 10 botol yang biayanya dicover BPJS. Saya melongo, tapi lega. Berkali-kali saya berterima kasih kepada perawat yang mengabarkan hal ini. Perawat lain juga menunjukkan rasa takjubnya ketika tahu beliau sudah menghabiskan 6 botol albumin.
"Untuk albumin saja sudah sekian dananya, belum obat lainnya. Semangat untuk sembuh ya, Pak!" Suatu kali kata perawat memberi motivasi sembuh kepada suami saya. Waktu itu hari H operasi kurang satu hari.
Menyatakan keberatan kepada pihak dokter ketika suami diizinkan pulang oleh tim dokter sebanyak 3 kali, berkonsultasi soal tambahan suplemen setara albumin sehingga kemudian mendapat stock albumin 10 botol merupakan tindakan yang perlu kepercayaan diri saya. Kalau saya mengikuti semua keputusan dokter tanpa ada komunikasi intens, apa jadinya kondisi suami saya waktu itu.
Ya, saya berjuang demi melihat beliau sehat kembali. Bolehkan saya menyebut diri saya pahlawan bagi beliau?
#WomenforWomen