Fimela.com, Jakarta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto yang mengakhiri hidupnya.
Kasus ini sungguh memilukan dan menjadi kesedihan bagi keluarga korban dan kita semua. Kisah tragis NWR harus menjadi pelajaran bagi kita. Kasus ini merupakan alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat.
Daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat rapuh di tengah kondisi layanan yang sangat terbatas kapasitasnya menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks.
Advertisement
BACA JUGA
Menyegerakan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang meneguhkan komitmen negara dalam pelaksanaan tanggung jawab pemulihan korban, selain memutus impunitas, adalah langkah mendesak.
Mengembangkan ekosistem dukungan bagi korban juga tidak lagi dapat ditunda: dari keluarga hingga bagi lembaga-lembaga yang menyelenggarakan layanan, mulai dari desa hingga nasional. NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang-ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019. Ia terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara.
Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali. Dalam keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban dengan alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan kemudian bahkan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat. Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Advertisement
Kekerasan dalam pacaran
Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang ketiga terbanyak dilaporkan. Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan dihampir 34 Provinsi, sekitar 20% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.
Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Kasus ini seringkali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum. Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka. Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.Â
Kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. Ini sudah dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada 2020.Â
Lonjakan pengaduan kasus telah kami amati sejak tahun 2020. Dengan sumber daya yang sangat terbatas, Komnas Perempuan berpacu untuk membenahi sistem untuk penyikapan pengaduan, mulai dari verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan dan pemberian rekomendasi.
Namun, lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan antrian kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan kekuatiran yang terus kami pikul. Kekuatiran semakin menjadi sejak kwartal kedua 2021. Karena tidak mendampingi kasus secara langsung, upaya membantu korban menjadi komitmen yang terus dijaga dan dirawat Komnas Perempuan melalui sistem rujukan dan kerjasama dengan berbagai mitra lembaga layanan.Â
Pada tengah tahun 2021 semakin banyak lembaga layanan yang menyatakan diri kewalahan menerima rujukan sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri mereka, yang juga bekerja dengan sumber daya yang terbatas. Terlebih, masa pandemi mempengaruhi daya lembaga layanan sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang diharapkan.Â
Sementara itu, kajian kebijakan daerah tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan (Komnas Perempuan, 2020) memperlihatkan bahwa hanya 30% kebijakan daerah yang memandatkan adanya sistem pemulihan. Di banyak daerah, keberadaan dan dukungan bagi konselor psikolog adalah hal yang mewah, seperti juga visum gratis dan rumah aman.Â
Situasi lembaga layanan serupa ini jelas merupakan ‘bom waktu’ terutama di hadapan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi ini. Semua tangan haruslah disiapkan untuk merangkul dan merawat korban. Karenanya, Komnas Perempuan menyerukan agar kasus NWR ini menjadi momentum:Â
a). Bagi negara untuk segera membenahi diri, termasuk dengan menyegerakan pengesahan RUU TPKS dan mengembangkan ekosistem dukungan pemulihan bagi korban di tingkat nasional maupun daerah;
b). Bagi semua pihak untuk turut mendorong pengesahan RUU TPKS, memberikan dukungan bagi lembaga pengada layanan dan individu pendamping korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual dan bersama-sama mengupayakan mengikis budaya menyalahkan perempuan korban kekerasan;
c). Kepolisian melakukan langkah-langkah tegas untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus kekerasan seksual, dengan tidak terbatas pada demosi, pelucutan jabatan ataupun penghentian keanggotaan, melainkan dengan proses hukum dan pemulihan korban yang berkeadilan;
d). Secara internal, Komnas Perempuan akan terus melakukan penguatan sistem dalam penyikapan pada pengaduan korban, menguatkan sistem rujukan, dan meningkatkan upaya untuk menggalang dukungan bagi lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan. Komitmen kami tidak akan pernah kendur, demi keadilan dan pemulihan korban atas nama kemanusiaan.Â
#elevate women