Sukses

Parenting

5 Perilaku Buruk yang Mungkin Tumbuh pada Anak Laki-Laki Akibat Toxic Masculinity

Fimela.com, Jakarta Toxic masculinity merupakan sebuah stereotip yang masyarakat harapkan terhadap laki-laki, terlepas dari apakah hal tersebut berdampak negatif pada individu maupun orang lain secara keseluruhan. Tidak hanya perempuan, tetapi laki-laki juga turut merasakan dampak buruk dari toxic masculinity

Anak laki-laki jarang sekali diperbolehkan untuk meluapkan emosinya karena hal tersebut dianggap lemah. Hal sederhana seperti menangis dapat menghilangkan jati dirinya sebagai laki-laki di mata masyarakat dengan paham toxic masculinity

Walaupun lingkungan di rumah tidak mendukung toxic masculinity, tetapi terkadang secara tidak sadar, lingkungan sekitar dan masyarakat secara umum justru melanggengkan paham tersebut. Dilansir dari Mind Family, inilah 5 perilaku dan sifat buruk yang diwariskan secara tidak langsung oleh toxic masculinity terhadap anak laki-laki!

Penekanan emosi

Dalam berbagai kasus, anak laki-laki selalu diminta untuk menekan emosinya karena jika mereka menunjukkan apa yang dirasakan, maka akan dianggap sebagai laki-laki yang lemah. Perasaan seperti sedih, takut, atau kecewa tidak boleh ditampakkan karena dianggap feminin. 

Hal tersebut berpengaruh pada bagaimana anak laki-laki mengalami kesulitan dalam mengungkapkan emosinya dan dapat berdampak pada kesehatan mentalnya. Kesehatan mental dapat terdampak karena ia tidak mampu untuk membuat sebuah hubungan yang sehat dengan mengutarakan apa yang ia rasakan.

Bertindak agresif sebagai tanda kuat

Anak laki-laki belajar sejak dini bahwa tindakan yang agresif menunjukkan kekuatan ketika mereka melihat teman sebayanya melawan. Anak laki-laki sering sekali menganggap bahwa dirinya harus menjadi kuat secara fisik agar mereka bisa menjadi laki-laki yang sebenarnya.

Namun, kebiasaan untuk bertindak agresif dapat menyebabkan kekerasan sebagai sebuah kebiasaan. Hal tersebut dapat memberikan dampak pada kehidupannya secara pribadi maupun secara umum.

Tidak bebas mengeksplor diri

Pandangan dan norma gender yang masih tradisional menganggap apa yang pantas dan apa yang tidak pantas untuk diminati oleh anak laki-laki. Anak laki-laki sering diminta untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial yang ada agar tidak dianggap sebagai sosok yang feminin atau lemah.

Definisi maskulinitas yang sangat sempit menyebabkan anak laki-laki tidak bebas untuk mengeksplor apa yang ia sukai dan minat. Pandangan-pandangan seperti itu dapat membatasi pertumbuhannya secara pribadi dan melanggengkan stereotip seputar peran gender.

Kuasa dan kontrol berlebihan

Anak laki-laki dibesarkan dengan cara yang membuat mereka merasa berhak untuk mengatur dan memegang kendali atas orang lain, khususnya terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Dengan memberikannya kesempatan untuk berlaku seperti itu, mereka hanya akan semakin yakin bahwa merekalah yang lebih unggul dari orang lain.

Dalam masyarakat yang masih menganggap laki-laki lebih berkuasa, hak-hak laki-laki juga akan dipandang sebagai sesuatu yang spesial dan berbeda. Hal tersebut hanya akan membuat laki-laki seperti makhluk paling berkuasa dan memperkuat ketidaksetaraan gender.

Kecerdasan emosional yang rendah

Berkat masyarakat yang menaruh ekspektasi tertentu pada laki-laki, laki-laki menjadi tidak memiliki tingkat kecerdasan emosional yang baik. Salah satu contohnya adalah berempati dengan orang lain. Anak laki-laki tidak mendapatkan banyak pengetahuan tentang bagaimana cara melakukannya. Hal tersebut akan berdampak pada kemampuannya untuk membangun hubungan yang sehat.

Untuk memperbaiki kualitas individu yang dirusak oleh paham terbelakang seperti itu, kita harus bersama-sama membantu menumbuhkan empati dan kecerdasan emosional, serta mendorong anak laki-laki untuk mengeksplorasi berbagai hal tanpa takut akan cap dari masyarakat.

Penulis: FIMELA Karina Alya

#Unlocking The Limitless

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

What's On Fimela
Loading