Fimela.com, Jakarta Penyakit jantung bisa terjadi pada siapa saja dari segala usia, termasuk anak-anak. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2014 menemukan 7 hingga 8 bayi per 1000 kelahiran hidup dilahirkan dengan penyakit jantung bawaan (PJB).
PJB sendiri merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi di antara kelainan-kelainan bawaan jenis lain. Kasus PJB pada bayi baru lahir yang terlambat dideteksi menjadi penyebab utama kematian bayi baru lahir.
Sementara itu, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sepanjang 2013-2017 menunjukkan bahwa hanya 2000 kasus PJB setiap tahunnya yang mendapatkan intervensi baik secara bedah maupun non-bedah, padahal setidaknya ada 20,000 pasien PJB setiap tahunnya yang membutuhkan penanganan.
Advertisement
BACA JUGA
Kepala Subdirektorat Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Direktorat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, dr. Asik Surya, menjelaskan bahwa saat ini prevalensi terhadap penyakit jantung di Indonesia secara keseluruhan mencapai 1.5%. Sedangkan, dokter jantung di Indonesia sendiri hanya sekitar 1050 orang.
Angka ini menggambarkan ketidaksetimbangan antara jumlah dokter jantung dengan kasus yang harus ditangani, yang jika di angkakan maka perbandingan ini mencapai 1:250.000. Selain tenaga kesehatan, kecenderungan kurang lengkapnya alat yang ada di daerah menyebabkan rujukan penyakit-penyakit ini ditujukan ke Jakarta. Padahal, terdapat penanganan yang bisa dilakukan di daerah asal.
“Oleh sebab itu, untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan, perlu diciptakan sistem rujukan yang efektif sehingga penanganannya dapat dilakukan merata, tidak hanya berfokus pada daerah Jakarta,” tutur dr. Asik dalam siaran pers Philips yang diterima Fimela.com
Sementara itu, Sementara itu, dr. Winda Azwani menjelaskan bahwa angka tenaga kesehatan ahli yang mampu melakukan penanganan PJB pada bayi dan anak sendiri angkanya bahkan jauh di bawah itu. Saat ini jumlah dokter yang dapat menangani penyakit jantung anak hanya mencapai 50-60 orang.
Jumlah ini dianggap kurang memadai, mengingat diprediksi sekitar 50.000 bayi lahir dengan penyakit jantung bawaan (PJB) setiap tahunnya. Selain kurangnya jumlah tenaga ahli, hanya sedikit rumah sakit yang memiliki teknologi pendukung untuk melakukan intervensi PJB pada bayi dan anak. Alat dan bahan medis yang dibutuhkan masih berasal dari luar negeri, sehingga berkontribusi ke mahalnya tarif penanganan.
Advertisement
Penangan PJB
dr. Winda Azwani, berdasarkan jenisnya, PJB dapat dibagi menjadi dua, yaitu PJB sederhana dan PJB kompleks.
“PJB sederhana terjadi jika bayi mengalami 1 lesi (keadaan abnormal) pada jantung. Sedangkan PJB kompleks adalah penyakit jantung dengan lebih dari 1 lesi dan komplikasi lainnya. Untuk penanganan PJB sederhana, beberapa kota besar lainnya seperti Medan, Bandung, dan Makassar sudah memiliki fasilitas untuk menanganinya. Namun, penanganan PJB kompleks saat ini hanya dapat dilakukan di dua lokasi, yaitu Jakarta dan Surabaya saja," paparnya.
Penanganan PJB dapat dibagi menjadi dua, yaitu dengan operasi jantung dan intervensi non-bedah melalui kateterisasi jantung. Tergantung dengan tingkat kegawatannya, operasi jantung pada bayi dapat dilakukan sejak bayi berusia 2 minggu.
Baik intervensi bedah maupun non-bedah membutuhkan tenaga ahli dengan tim terlatih yang saat ini jumlahnya masih sangat sedikit, sehingga terkadang berakibat pada terlambatnya penanganan PJB kritis.
PJB saat ini belum diketahui pasti penyebabnya. Namun, penyakit ini memiliki beberapa faktor risiko, antara lain adalah ibu dengan diabetes yang melakukan pengobatan dengan suntik insulin, atau ibu dengan epilepsi yang mengonsumsi obat anti-kejang. Pada bayi, PJB dapat memiliki dampak jangka panjang jika tidak ditangani dengan benar, mulai dari cacat, stunting, hingga kelumpuhan.
Deteksi dini PJB
Data Pusat Jantung Nasional Harapan Kita 2019 menyebut bahwa daftar antrian operasi jantung pada bayi dan anak di saat ini mencapai 1.100 pasien, dengan kemampuan rumah sakit untuk melakukan operasi sebanyak 1.200 operasi setiap tahunnya. Namun semakin canggihnya teknologi saat ini, PJB sudah bisa dideteksi sejak janin masih berada di dalam kandungan, yaitu melalui fetal echocardiography. Teknologi yang baru dikenal di dunia kesehatan pada 10 tahun terakhir ini dapat menangkap kelainan pada jantung janin menggunakan USG, meskipun untuk saat ini, dokter ahli yang bisa melakukan fetal echocardiography masih terbatas jumlahnya.
Pemeriksaan USG juga bisa menangkap beberapa gejala yang menjadi indikasi penyakit jantung bawaan, seperti janin berukuran cenderung kecil dan bibir sumbing. Setelah kelahiran, PJB dapat dikenali lewat beberapa gejala seperti berat badan yang sulit naik, napas yang cepat saat tertidur dan anak mudah lelah. Untuk menghindari terjadinya dampak negatif jangka panjang PJB, maka deteksi dini sangat dianjurkan.
Presiden Direktur Philips Indonesia Dick Bunschoten mengatakan melalui mengatakan Philips berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai berbagai isu kesehatan yang mempengaruhi kehidupan banyak orang di Indonesia, salah satunya adalah PJB. Karenanya, Philips mendorong masyarakat untuk mulai megadopsi gaya hidup sehat serta membiasakan deteksi dini untuk mengantisipasi penyakit seperti PJB ini.
"Lewat inovasi teknologi seperti USG, deteksi PJB sejak dini dapat dilakukan. Selain itu, solusi Cath Lab Azurion kami juga membantu intervensi non-bedah yang lebih tidak menakutkan dan tidak meninggalkan luka pada anak," ujarnya.
#Growfearless with FIMELA