Fimela.com, Jakarta Mengasuh sudah menjadi kewajiban orangtua untuk dapat membimbing dan mengajarkan anaknya. Setiap orangtua tentu memiliki pola asuh yang berbeda-beda. Namun, faktanya terdapat pola asuh yang justru membuat anak menjadi tertekan dan depresi. Mungkin memang anak tidak secara langsung memberitahukan kepada orangtua, tetapi jika dilanjutkan akan berbahaya bagi kesehatan mental anak.
Dilansir dari healthyplace.com, hasil penelitian yang bersumber dari Merriam-Webster, Cambridge Dictionary, Collins Dictionary, dan Dictionary.com mendefinisikan pola asuh mencakup beberapa unsur yaitu proses membesarkan anak sejak lahir hingga dewasa, memfasilitasi pengasuhan anak melalui semua tahapan perkembangan, merawat dan mengasuh anak, memenuhi tanggung jawab sebagai orangtua dalam membesarkan anak, membangun lingkungan yang sehat saat anak tumbuh untuk memastikan perkembangan sosial dan pendidikan yang selaras dengan prinsipmu.
Selain itu, juga menyesuaikan perubahan kebutuhan anak saat bertumbuh dan berkembang. Namun, dunia berubah dengan cepat sehingga pola asuh anak akan mengikuti perkembangan zaman, tetapi yang pasti pola asuh yang diterapkan orangtua ke anaknya merupakan pola asuh terbaik.
Advertisement
Advertisement
Tipe Pola Asuh
Dilansir dari parents.com, terdapat 4 tipe pola asuh anak:
Otoriter. Pola asuh ini berfokus pada aturan yang ketat, kepatuhan, dan disiplin. Orangtua memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak ragu untuk menghukum anaknya ketika tidak mengikuti aturan yang ada. Pada pola asuh otoriter, orangtua yang memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan sehingga jarang memberikan masukan kepada anak
Pola asuh ini memberikan efek kepada anak yaitu ketika berada di rumah, anak akan berperilaku baik, tetapi memungkinkan melakukan pemberontakan ketika bersama teman. Tak hanya itu akan anak akan mengalami kesulitan akan hal keterampilan sosial, keragu-raguan, kesulitan berpikir sendiri, rendah diri, dan dalam mengatur kemarahan serta kebencian.
Permisif. Pola asuh ini orangtua bertindak seperti teman dengan cara memenuhi kebutuhan anaknya tanpa memberikan banyak disiplin. Pada pola permisif, orangtua lebih santai dan lunak serta peraturan rumah tangga sangat minim.
Pengaruh pola asuh ini terhadap anak yaitu anak memiliki kedudukan yang tinggi dalam rumah tangga, anak dengan pola asuh ini terbiasa mendapatkan yang mereka inginkan. Namun, pola asuh ini memberikan dampak negatif kepada anak seperti kurangnya tanggung jawab, kurangnya dukungan dalam pengambilan keputusan, implusif, agrsivitas, kurangnya kemandirian dan tanggung jawab pribadi, kecemasan dan depresi.
Pola asuh permisif dapat membuat anak menjadi egois dan memungkinkan terjadinya kegagalan dalam upaya sekolah, pekerjaan, atau sosial karena terbiasa tidak harus berusaha saat di rumah.
Berwibawa
Berwibawa. Pada pola asuh ini, orangtua yang otoratif memberikan anak batasan, tetapi juga memberikan anak kebebasan untuk mengambil keputusan. Disini orangtua memandang kesalahan sebagai pengalaman belajar dan mereka memiliki harapan yang jelas untuk anak. Orangtua yang berwibawa tetap akan menanamkan kepada anak pentingnya tanggung jawab dan disiplin.
Pengaruh yang diberikan pola asuh ini terhadap anak yaitu biasanya merupakan orang yang percaya diri, bahagia, dan sukses. Pola asuh ini juga memberikan dampak positif kepada anak seperti dekat dengan orangtua, bertanggung jawab, memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, mampu mengelola agresi mereka, tegas, dapat mengatur diri sendiri, cenderung bahagia dan sukses. Anak-anak yang diasuh dengan pola asuh berwibawa ini dapat dipercaya untuk membuat keputusan yang tepat sendiri dan mereka sering menetapkan ekspektasi yang tinggi untuk diri mereka sendiri. Biasanya juga berprestasi baik secara akademis maupun sosial.
Lalai atau tidak terlibat. Pola asuh ini orangtua yang lalai dan mengabaikan anaknya yang harus membesarkan dirinya sendiri, Tidak ada peraturan dan ekspektasi yang ditaruh orangtua pada anaknya sehingga memberikan pengaruh kepada anak seperti tidak ada bimbingan, memungkinkan penggunaan zat, melakukan pemberontakan, melakukan kejahatan, memungkinkan adanya masalah di sekolah atau dengan hukum. Tak hanya itu, dapat membuat anak ragu menjalin ikatan dengan orang lain bahkan dapat menyebabkan depresi.
*Penulis: Fani Varensia