Fimela.com, Jakarta Indonesia memiliki empat tingkatan dalam bersekolah, yaitu tingkat bermain, sekolah dasar, menengah hingga atas. Biasanya pada tingkatan taman kanak-kanak atau TK, anak bisa mulai bersekolah sejak usia 4 tahun. Namun, orangtua bisa memilih apakah harus memulai dari tingkat bermain atau TK, ataupun langsung ke tingkat sekolah dasar (SD). Sementara itu, pada tingkatan sekolah dasar (SD), anak-anak sudah bisa mulai bersekolah di usia 6-7 tahun.
Saat ini banyak orangtua yang sudah menyekolahkan anaknya bahkan sejak usia satu tahun. Terdapat banyak alasan mengapa orangtua mulai menyekolahkan anaknya pada usia dini, mulai dari kebanggaan maupun ego dari orangtua ataupun memang didasari oleh kebutuhan sang anak. Sebelum memutuskan dan memilih sekolah untuk anak, penting untuk memahami usia yang sesuai dan tanda-tanda kesiapan anak untuk mulai sekolah.
Menyekolahkan anak terlalu dini memiliki dampak negatif bagi anak. Apalagi saat anak dipaksa untuk bersekolah, namun anak belum memiliki kesiapan atau usia yang belum matang akan membuat anak tertekan. Pada dasarnya karena usia sangat memengaruhi kematangan emosi seorang anak. Masalah usia juga menentukan kemampuan anak untuk menyerap informasi dan memahami hal-hal baru. Jika orangtua memaksa anak untuk pergi ke sekolah sejak usia dini, ia mungkin mengalami kesulitan menyerap pelajaran dan kesulitan berteman dengan teman sekelas yang lebih tua.
Advertisement
Dilansir dari smh.com.au, Rabu (28/9/2022), Seorang ahli dari Universitas Cambridge dalam perkembangan kognitif anak-anak, Dr David Whitebread, mengatakan "banyak bukti menunjukkan bahwa usia lima tahun terlalu muda untuk memulai pembelajaran formal."
Advertisement
Dampak negatif anak sekolah terlalu dini
1. Risiko gangguan psikologis
Anak-anak yang belum cukup umur untuk bersekolah berisiko mengalami gangguan psikologis, yaitu attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), juga dikenal sebagai gangguan hiperaktif. ADHD adalah gangguan perkembangan otak yang dapat menyebabkan hiperaktif, impulsif, dan konsentrasi yang buruk pada anak. Karena perilaku ini, beberapa orang menganggap anak-anak dengan ADHD sombong dan sulit diatur.
2. Anak stres dan tertekan
Anak berusia di bawah 6 tahun seharusnya masih memiliki waktu bermain yang banyak dengan teman sebayanya. Jika orangtua menyekolahkan anak di usia dini mengakibatkan anak menjadi tertekan dan stres karena anak dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak sesuai dengan kemampuannya.
3. Hilang motivasi untuk belajar
Anak stres dan tertekan saat bersekolah juga menimbulkan efek negatif lainnya yaitu kehilangan motivasi untuk belajar karena merasa bosan. Biasanya anak-anak bersemangat untuk pergi ke sekolah. Namun, ketika anak pergi ke sekolah terlalu dini, hal itu menyebabkan kebosanan. Anak usia dini bukanlah waktu yang ideal bagi anak-anak untuk pergi ke sekolah. Saat anak masih balita, orangtua harus fokus membuat mereka bahagia terlebih dahulu.
4. Tidak fokus dalam belajar
Anak yang sekolah terlalu dini tentu merampas sebagian besar waktu bermain mereka. Maka tidak heran jika anak sulit berkonsentrasi saat belajar. Karena jika anak memiliki masa belajar yang lama, sehingga mereka tidak bisa duduk diam dan mendengarkan guru di kelas saat belajar.
Selain itu, anak biasanya belum memiliki pengendalian diri yang sempurna. Oleh karena itu, mungkin tidak ada rasa tanggung jawab atau dorongan untuk memenuhi tugas sekolah, karena anak hanya memikirkan bermain yang ada di benaknya.
Untuk itu, sebaiknya orangtua berpikir dua kali sebelum memutuskan menyekolahkan anaknya lebih awal. Pada tingkat yang lebih serius, anak-anak dapat memiliki berbagai macam masalah dan akhirnya menerima perawatan pada usia yang sangat muda.
Orangtua dapat memfasilitasi kegiatan belajar anak-anaknya di rumah daripada mengirim mereka ke sekolah. Misalnya, ajak anak bermain game edukasi seperti mewarnai, menggambar atau berhitung. Hal-hal tersebut justru dapat merangsang otak anak untuk berfungsi lebih baik. Membiasakan anak untuk belajar akan mempersiapkan mereka untuk lingkungan sekolah masa depan.
Â
*Penulis: Sri Widyastuti.
#WomenForWomen