Fimela.com, Jakarta Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda. Hal tersebut dapat menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana kepribadian seseorang dapat terbentuk dan sangat berbeda satu sama lain. Menurut penelitian, salah satu faktor yang paling memengaruhi pembentukan kepribadian seseorang adalah lingkungan keluarga. Keluarga adalah lingkungan sosial pertama yang dimiliki seseorang.
Bagi beberapa orang, keluarga menjadi lingkungan sosial yang paling berpengaruh karena mereka dibesarkan dalam lingkungan tersebut. Oleh karena itu, benar adanya jika lingkungan keluarga sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian seseorang.
Berikut adalah contoh lingkungan keluarga yang dapat memengaruhi kepribadian seseorang.
Advertisement
BACA JUGA
Advertisement
Strict Parents
1. Tumbuh dalam Keluarga yang Disiplin
Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan orang tua yang sangat keras, disiplin, dan ketat, maka kemungkinan besar ia akan tumbuh sebagai orang yang bergantung dengan orang lain. Contoh perilaku orang tua yang sangat keras dan ketat adalah mereka mengatur berbagai aspek kehidupan anaknya. Walaupun orang tua percaya bahwa apa yang mereka lakukan benar dan baik bagi anak, nyatanya hal tersebut dapat berpengaruh buruk pada pembentukan kepribadian anak. Mereka akan tumbuh sebagai seseorang yang sangat bergantung pada orang lain serta memiliki kesulitan untuk beradaptasi dan melakukan berbagai pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Keluarga yang Berpisah
Tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan orang tua yang sudah bercerai dapat meningkatkan keinginan seseorang untuk memiliki dan menjalin hubungan romantis. Saat seorang anak melihat orang tuanya, mereka percaya bahwa orang tuanya adalah belahan jiwa untuk satu sama lain. Tetapi sayangnya tidak semua kisah cinta berakhir dengan baik, begitu pula kisah cinta yang dijalin oleh orang yang sudah menikah. Jika perceraian terjadi pada awal masa pertumbuhan anak, hal tersebut dapat membuat anak tumbuh dengan memiliki standar yang tinggi untuk calon pasangannya. Kasih sayang dan kesetiaan adalah hal utama yang mereka cari dalam sebuah hubungan agar mereka bisa mempercayai calon pasangannya.
Orang tua yang otoriter
3. Orangtua yang Otoriter
Lingkungan keluarga dengan orang tua yang otoriter kemungkinan besar dapat membuat anak yang tumbuh didalamnya memiliki depresi. Saat orang tua terlalu ikut campur dan mengatur segala aspek kehidupan anak, hal tersebut dapat membuat anak berpikir dan memiliki pola pikir bahwa mereka tidak cukup baik untuk membuat keputusan. Tidak adanya kepercayaan orang tua kepada anak membuat anak meragukan dirinya sendiri. Orang tua yang otoriter juga sering memaksakan kehendaknya pada anak walaupun hal tersebut membuat anaknya tidak bahagia. Hal tersebut dapat berujung pada rendahnya kepercayaan diri anak dan munculnya rasa tidak berguna pada diri anak. Jika anak dibesarkan seperti ini, maka ia sangat mungkin memiliki depresi saat beranjak dewasa.
4. Tidak ada Komunikasi yang Baik antar Orangtua dan Anak
Saat orang tua lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak untuk menonton televisi dibandingkan membacakan buku untuk anak, maka hal tersebut dapat menghambat kemampuan anak dalam berkomunikasi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa tipe orang tua ini dapat mengurangi interaksi dan komunikasi dua arah yang terjadi pada orang tua dan anak. Ketika orang tua membacakan buku pada anak, maka hal tersebut akan mendorong anak untuk mengajukan pertanyaan dan proses komunikasi pun terjadi secara interaktif.
Advertisement
Anak yang meniru perilaku orang tua
5. Meniru Orangtua
Jika seseorang banyak meniru orang tuanya selama ia tumbuh, maka kemungkinan besar ia akan mudah beradaptasi di lingkungan baru. Menurut penelitian, hal tersebut dapat terjadi karena anak akan lebih terbuka dengan budaya baru. Saat mereka banyak meniru perilaku orang tua, bahkan perilaku konyol, mereka akan mulai terbuka dengan ide atau konsep baru, sama halnya dengan budaya, norma, dan nilai. Pada kenyataannya, budaya, norma, dan nilai tidak selalu terlihat, tetapi ketika seseorang merasa terbuka untuk mempelajarinya, maka hal tersebut dapat membuat mereka lebih sadar akan budaya, norma, dan nilai lain.
6. Keluarga yang gemar Melakukan Kekerasan Fisik
Lingkungan keluarga yang kasar secara fisik dapat membuat anak tumbuh menjadi seseorang yang licik. Penelitian menunjukkan bahwa kekerasan fisik pada anak dapat memberikan banyak dampak negatif, seperti masalah akademis, kematian di usia muda karena berbagai penyakit, seperti penyakit mental dan pernapasan. Oleh karena itu, banyak negara yang melarang dan mengatur kekerasan pada anak dalam peraturan negara yang mereka buat. Menurut seorang penulis, Daniel Pink, anak yang tumbuh dengan mendapatkan kekerasan fisik di lingkungan keluarganya akan memiliki perilaku yang tidak seharusnya dimiliki oleh seorang anak. Mereka akan berusaha menghindari hukuman fisik tersebut sebisa mungkin dengan melakukan berbagai cara, bahkan cara yang tidak baik sekalipun.
Orang tua yang ketergantungan
7. Tumbuh di Keluarga yang Ketergantungan dengan Alkohol
Tumbuh dalam lingkungan keluarga yang memiliki ketergantungan dan kecanduan akan alkohol dan obat-obatan akan membuat seseorang sangat perfeksionis. Seseorang yang sangat serius, kaku, dan memiliki etos kerja yang bagus sangat mungkin tumbuh dalam lingkungan keluarga ini. Mereka dituntut untuk dewasa sebelum waktunya, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk menghabiskan masa kecil selayaknya seorang anak pada umumnya. Mereka harus bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri dan keluarganya. Oleh karena itu, mereka seringkali tumbuh sebagai seseorang yang perfeksionis atau memiliki depresi dan gangguan kecemasan.
8. Hubungan Ayah
Seseorang akan memiliki hubungan yang sehat, baik dengan teman maupun pasangan, saat ia memiliki hubungan ayah dan anak yang baik. Seseorang yang tumbuh dengan hubungan ayah dan anak yang buruk seringkali memengaruhi kepercayaan dan kualitas hubungan anak dengan orang lain saat mereka tumbuh. Menurut sebuah penelitian, ketika ayah dan anak memiliki hubungan yang baik dan berusaha memahami satu sama lain, maka hal tersebut berdampak baik pada hubungan sosial anak. Anak akan tumbuh dengan mencoba memahami teman dan pasangannya.
Ditulis oleh: Savitri Anggita Kusuma Wardani