Fimela.com, Jakarta Kasus Aisha Weddings dan jasa penyelenggaraan perkawinan yang memuat promosi perkawinan anak mencuat. Flyer dan situs yang dimiliki mereka pun menjadi pusat perhatian masyarakat. Pasalnya, Aisha Weddings dikabarkan memuat promosi perkawinan anak yang masih berusia 12 tahun.
Menanggapi ini, Gerakan Masyarakat Sipil untuk Penghapusan Perkawinan Anak telah mengadakan konferensi pers pada Kamis (11/2) dan mengeluarkan pernyataan sikap. Pernyataan tersebut terdiri dari 6 desakan yang intiya menegaskan kalau promosi perkawinan anak adalah kejahatan terhadap anak dan perempuan serta tindakan melawan hukum.
Advertisement
BACA JUGA
Pernyataan sikap ini mendapat dukungan publik secara luas setidaknya 127 lembaga dan 303 individu dalam waktu kurang dari 18 jam. Berikut isi pernyataan sikap tersebut;
- Mendesak Kapolri dan seluruh jajaran dibawahnya untuk melakukan penyelidikan dan penegakkan hukum terhadap pemilik, pembuat, dan pengelola www.aishaweddings.com dan situs-situs serupa yang merupakan jaringan perdagangan dan eksploitasi anak;
- Mendesak Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk melakukan pemblokiran terhadap konten-konten online dan melakukan evaluasi terhadap dunia usaha pengelola situs maupun aplikasi berbasis online yang mempromosi perkawinan anak dan menyediakan jasa perjodohan yang mengarah pada tindak pidana perdagangan orang, terutama perempuan dan anak;
- Mendesak dewan pengarah dan perusahaan pengelola situs maupun aplikasi berbasis online turut bertanggung jawab secara proaktif, termasuk menghentikan promosi perkawinan anak dan penyediaan jasa perjodohan yang mengarah pada tindak pidana perdagangan orang, terutama perempuan dan anak;
- Mendesak Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk memperkuat sosialisasi UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, guna memperkuat upaya pencegahan perkawinan anak sampai ke tingkat desa. Termasuk mendorong kementerian dalam negeri untuk menerbitkan kebijakan yang mendorong pemerintah daerah menerbitkan peraturan guna mencegah perkawinan anak;
- Mendesak kementerian sosial untuk memasukkan upaya pencegahan perkawinan anak ke dalam komponen perlindungan sosial, khususnya jenis bantuan sosial;
- Mendesak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk bergerak bersama dengan organisasi masyarakat sipil dalam upaya menghentikan pihak-pihak yang melakukan promosi perkawinan anak.
Advertisement
Keterlibatan Kaum Muda Perempuan
Menurut Ferny, perwakilan Jaringan AKSI mengatakan kaum muda adalah kelompok yang paling terdampak dari kasus ini. Sehingga perlu ada keterlibatan anak dan kaum muda dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Tantangannya, sosialisasi regulasi yang kini banyak dilakukan di media sosial.
"Tantangan semakin sulit bagi anak perempuan di daerah terluar yang minim akses media sosial. Survey dari Youth Coalition for Girls menemukan bahwa banyak daerah-daerah yang belum menerima informasi mengenai UU Perkawinan Anak. Tantangan lainnya, dalam situasi pandemik COVID-19, banyak dampak ekonomi yang berdampak ke anak perempuan, salah satunya putus sekolah. Pernyataan Aisha Wedding dalam situsnya seolah-olah menggambarkan perkawinan adalah solusi kemiskinan walau hal ini tidak benar dan justru merugikan anak perempuan," katanya.
Sementara itu, Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia mengatakan kalau Aisha Weddings telah mempromosikan perkawinan anak lewat media sosial. Hal ini merupakan pelanggaran UU ITE.
"Aisha Weddings telah mempromosikan perkawinan anak, perkawinan paksa, poligami, melalui flyer, pamflet, website, fanpage di Facebook yang hal ini dari segi hukum, telah melanggar UU ITE. Selain itu, promosi ini secara tidak langsung juga mempromosikan dan melanggengkan kejahatan seksual terhadap anak perempuan, yang merupakan perbuatan pedofilia. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Perlindungan Anak," jelasnya.
#elevate women