Fimela.com, Jakarta Sekolah tatap muka ditunda karena angka positif Covid-19 masih meningkat. Belajar di rumah melalui Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang kebanyakan dilakukan secara daring dan menggunakan internet pun kembali dilakukan.
Dengan adanya kebijakan PJJ, maka anak-anak harus melakukan semua aktivitas belajarnya dengan menggunakan gawai dan internet. Tentunya dengan hal ini, anak akan lebih sering menggunakan gawai dan jaringan internet setiap harinya, baik dalam kegiatan belajar ataupun pada saat mengerjakan tugas.
Advertisement
BACA JUGA
Melihat hal tersebut, KPAI telah melakukan survei tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak pada masa Covid-19. Dalam survei tersebut, salah satu data yang memerlukan perhatian kita bersama adalah anak diijinkan menggunakan gawai di luar jam belajar oleh orangtua sebanyak 76,8 persen.
Adapun durasi penggunaan gawai di luar jam belajar adalah 1-2 jam perhari sekitar 36,5 %, durasi 2-5 jam per hari sekitar 34,8%, dan durasi lebih dari 5 jam per hari sekitar 25,4%. Penggunaan gawai tersebut rata-rata adalah milik anak sebanyak 71,3%. Penggunaan gawai tersebut kebanyakan tanpa dibarengi dengan adanya aturan terkait penggunaanya dari orangtua sebanyak 79%. Kebanyakan orangtua juga tidak melakukan pendampingan pada saat anak menggunakan gawainya.
Melihat hasil survei tersebut Margaret A. Maimunah, Komisioner Bidang Pornografi dan Cybercrime KPAI mengaku khawatir dengan kondisi anak-anak karena rentan mengalami terpaparnya informasi yang salah, konten negatif di internet atau menjadi korban/pelaku kejahatan siber, seperti yang saat ini terjadi yaitu kasus parodi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
“Angka anak yang menggunakan gawai diluar aktifitas belajar masih cenderung tinggi, rentan bagi anak terpapar informasi salah, konten negatif atau menjadi korban/pelaku kejahatan siber seperti kasus parodi lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang saat ini diproses oleh Mabes Polri. Anak-anak perlu adanya pendampingan saat berselancar di dunia maya”, ungkap Margaret dalam siaran pers yang diterima.
Advertisement
Khasus parodi lagu Indonesia Raya jadi cerminan
Dalam kasus parodi lagu Indonesia Raya, berdasarkan hasil pengawasan KPAI, bahwa sebelum membuat konten negatif tersebut, anak pelaku berusia 16 tahun telah terlebih dahulu bergabung dengan grup media sosial yang berisi dengan ujaran kebencian.
Dalam kasus lainnya yang serupa, berdasarkan hasil pengaduan KPAI, orangtua melaporkan adanya grup pornografi yang mengundang anaknya masuk kedalamnya. Dari 1 grup pornografi berkembang ke grup lainnya yang juga sarat dengan hal yang sama.
Margaret mengimbau kepada seluruh orangtua agar melakukan cek atau kontrol pada gawai anak terkait dengan apakah anak bergabung pada grup tertentu di media sosial. Grup yang dimaksud adalah grup yang sarat dengan konten-konten negatif yang dapat berdampak negatif terhadap tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak. Konten-konten negatif yang dimaksud adalah konten-konten yang bermuatan pornografi, kekerasan, dan perilaku-perilaku negatif yang dapat memengaruhi anak untuk berperilaku negatif.
Jika orangtua menemukan anak bergabung dalam grup yang sarat dengan konten-konten negatif tersebut, atau grup yang tidak ada kaitannya dengan anak karena di luar lingkungan keluarga dan teman sekolah anak atau lingkungan yang positif bagi anak, maka anak harus segera keluar dari grup tersebut.
“Bagi orangtua yang menemukan grup-grup berkonten negatif tersebut, dapat melaporkannya ke KPAI untuk dapat dilakukan upaya tindak lanjut,” ujar Margaret.
Selanjutnya, Margaret kini kembali mengajak orang tua agar membangun komitmen dengan anak terkait aturan penggunaan gawai dan aktifitasnya dalam bermedia sosial agar anak-anak dapat terlindungi dari berbagai konten negatif dan kejahatan siber. Termasuk dalam hal ini, adalah memberikan penjelasan kepada anak-anak terkait dengan adanya ancaman berbagai konten negatif dan kejahatan siber.
#elevate women