Ladies, kesadaran masyarakat Indonesia akan kessehatan organ reproduksi dan seksual dibentuk dengan ‘ketat’ oleh kontruksi sosial. Namun dalam pembetukannya, kontruksi ini sangat erat berkelindan dengan mitos yang ada dalam budaya dan tradisi kita.
Melansir ulang dari hermanvarella.wordpress.com, ketika kecil, kita diperkenalkan pada organ seksual seperti Miss V, rahim, Mr. P, atau testikel dengan berbagai penyamaran nama. Ladies pasti sudah familiar dengan penyebutan apem, gua, belut, burung, dan hal-hal yang tidak berhubungan lainnya saat mengacu pada organ seksual kita. Dari sinilah, sedari anak-anak kita seolah dibungkam dari pengetahuan akan seksualitas.
Hal tersebut, Ladies, menyebabkan timbulnya aturan tidak tertulis yang seolah berkata bahwa membicarakan seksualitas adalah hal yang sangat tabu dan bisa merusak nilai moral. Membicarakan seksualitas di depan publik, apalagi, adalah suatu hal di luar kewajaran. Sehingga, pengetahuan akan kesehatan reproduksi dan seksualitas menjadi semakin tidak terjangkau.
Advertisement
Sehingga, menurut penelitian Perhimpunan Rahima yang dilansir dalam id.berita.yahoo.com, banyak anak dalam usia pelajar akhirnya mencari masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas dari internaet dan perkataan teman, yang belum tentu benar. Anak mungkin akan merasa lebih nyaman mencari di internet karena memang dunia internet tidak akan menghakimi secara membabi buta, seperti yang ditemui di masyarakat. Padahal, Ladies tentu tahu, dalam konten ini, pencarian internet akan sangat rawan, karena berpotensi ‘menyesatkan’ anak pada situs-situ dewasa yang belum waktunya.
Oleh: Adienda Dewi S.
(vem/rsk)