Rosatyani Puspita Adiati, Universitas Airlangga dan Rizqy Amelia Zein, Universitas Airlangga
Perempuan yang bekerja menghadapi banyak tantangan karena masyarakat Indonesia masih cenderung konservatif dengan menganggap urusan domestik adalah sepenuhnya domain perempuan. Pandangan ini mendorong perempuan lebih memusatkan perhatiannya pada urusan rumah tangga.
Banyak alasan mengapa para perempuan memilih berkarir, di antaranya karena pasangan hanya mampu mencukupi sebagian kebutuhan keluarga atau ingin mencari kesempatan karir yang lebih baik dibandingkan pasangannya.
Advertisement
Dalam keluarga biasanya terjadi pembagian peran kerja. Ayah sebagai pencari nafkah utama dan ibu sebagai penanggung jawab urusan-urusan domestik. Seiring dengan berubahnya struktur relasi gender di masyarakat, tak sulit saat ini kita temukan ibu yang juga bekerja, bahkan menjadi pencari nafkah utama.
Menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja adalah pilihan yang sangat personal dan dipengaruhi situasi yang dihadapi oleh masing-masing keluarga. Oleh karena itu, tak relevan kita memperdebatkan pilihan mana yang lebih baik.
Beban ganda dan depresi
Filsuf Jerman Josef Pieper menggambarkan kondisi pasca Perang Dunia ke-2 sebagai the age of total work, yaitu kondisi manusia sebagai pekerja dan seluruh totalitas pengalaman manusia diarahkan untuk bekerja. Apa pun yang dilakukan manusia, termasuk belajar, mengembangkan diri, bahkan beristirahat, semuanya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas.
Bila pandangan ini relevan, berarti perempuan makin tersubordinasi karena mengalami leisure gap (kesenjangan waktu luang) dibanding laki-laki karena perempuan harus bekerja di kantor, lalu dia juga bekerja di rumah mengurus anak dan keluarga.
Selain itu, perempuan juga sering dilaporkan menerima banyak ketidakadilan di tempat kerja karena waktu bekerja lebih panjang, tapi memiliki pendapatan yang lebih sedikit daripada laki-laki. Mereka juga rentan menjadi korban pelecehan di tempat kerja, serta sulit mendapatkan jabatan tingkat menengah atau pimpinan di organisasi.
Tak mengagetkan bila prevalensi depresi dua kali lebih tinggi dialami perempuan daripada laki-laki, dan risiko ini bertambah ketika perempuan menjalani peran ganda.
Pengalaman perempuan berkarir
Dina adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjalani peran ganda ini. Ia dibesarkan dalam keluarga yang menganggap bahwa ibu seharusnya lebih banyak terlibat untuk mengasuh anak secara langsung. Suaminya adalah pekerja lepas yang tidak memiliki penghasilan tetap. Keadaan ini membuatnya harus bekerja, sementara suaminya justru lebih sering berada di rumah.
Beberapa kali ia berpikir untuk melepas jabatannya sebagai manajer sumber daya manusia di badan usaha milik negara (BUMN). Tapi ketika ia berpikir ulang, dengan situasinya saat ini, keluar dari pekerjaan bukan pilihan yang bijak. Walau dia tidak selalu mengasuh sendiri anaknya, ia tetap butuh bekerja untuk menjamin pendidikan anaknya dan ia juga merasa lebih bermanfaat ketika ia mampu berkarir dengan baik.
Di sisi lain, ia juga merasa keputusan tersebut tidak mudah dijalani. Terkadang dia merasa lelah karena harus menyelesaikan pekerjaan pada malam hari di rumah dan harus berangkat kerja saat anaknya belum bangun. Keadaan ini terkadang membuatnya tidak bisa fokus baik saat di rumah atau di kantor.
Lain lagi kisah Rara. Dia adalah konsultan sumber daya manusia dan berharap dengan pekerjaan itu, dia akan memiliki kemerdekaan menentukan waktu kerjanya sendiri, sehingga punya cukup waktu untuk mengurus keluarga. Dia memiliki suami yang berpenghasilan cukup dan seorang anak yang cerdas dan sehat. Ia menjalani karirnya dengan senang hati, karena ia mencintai pekerjaannya.
Namun belakangan ia seringkali merasa sakit kepala, mual, dan kelelahan karena kesulitan menangani banyaknya klien yang datang berkonsultasi. Ia seringkali harus membawa begitu banyak pekerjaan ke rumah, mencuri-curi waktu untuk bisa menyelesaikan tugas yang pada awalnya terasa menyenangkan tersebut. Tapi rupanya ketika liburan pun ia masih memikirkan tenggat waktu dari tugas-tugas yang belum diselesaikan.
Lalu bagaimana jalan tengahnya?
Pengalaman seperti Dina dan Rara banyak juga dialami oleh ibu bekerja di sekitar kita. Kami percaya ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar ibu bekerja seperti Dina dan Rara tetap sehat mental. Berikut ini cara meningkatkan kesehatan mental bagi ibu yang bekerja:
Tanyakan kepada diri sendiri: apakah saya tetap sehat dan bahagia saat bekerja?
Sebanyak apa pun yang kita korbankan untuk pekerjaan, sebaiknya kita ingat bahwa kita tidak harus menderita untuk bisa menjalankan pekerjaan itu. Terlebih karena ibu bekerja memiliki tanggung jawab domestik yang membutuhkan energi yang besar juga. Tidak ada salahnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita merasa bahagia ketika bekerja?
Samakah gila kerja dengan waktu bekerja yang panjang? Gejala workaholic alias gila kerja ditandai dengan perasaan obsesif terhadap pekerjaan. Workaholic pada dasarnya berbeda dengan bekerja dalam waktu yang panjang (working long hours). Workaholism merupakan perasaan obsesif terhadap pekerjaan yang membuat seseorang hanya terfokus pada tugas bahkan ketika mereka sedang tidak bekerja. Seseorang bisa saja bekerja dalam waktu yang lama tanpa harus menjadi workaholic.
Di titik ini, kita harus paham kapan kita harus berhenti terobsesi dengan pekerjaan. Dalam kehidupan ibu bekerja, rasa obsesif yang berlebihan inilah yang akan menimbulkan cemas, tertekan, dan gangguan kesehatan yang juga berdampak pada ketidakmampuan untuk mengelola peran mereka secara optimal.
Workaholism diketahui memiliki korelasi yang tinggi terhadap gangguan kecemasan, gangguan tidur, maupun depresi pada tingkat rendah, menengah dan tinggi. Ketika hal ini tidak segera ditangani, akan menimbulkan gangguan kesehatan yang lebih parah.
Paham kapan saatnya berhenti bekerja. Seseorang dapat menjadi workaholic ketika ia kesulitan mengendalikan pikiran obsesifnya terhadap pekerjaan dan mengabaikan batasan-batasan yang ia miliki. Sebaiknya kita peka pada tanda-tanda yang menunjukkan mulai mendekati batasan itu.
Gangguan-gangguan kesehatan kecil yang berulang dan semakin intens, atau perasaan tidak berharga, suasana hati yang buruk, dan emosi yang tak terkendali bisa jadi adalah petunjuk tubuh dan psikis bahwa kita memerlukan istirahat sejenak dari pekerjaan.
Lakukan hal-hal yang membuat lebih sehat dan bahagia. Apa yang harus dilakukan ketika Anda merasa terjebak dan tidak lagi bahagia dalam pekerjaan? Mayoritas workaholic akan bertindak defensif ketika mereka diperingatkan oleh orang-orang dekatnya. Salah satu alasan yang sering kali digunakan adalah “Saya mencintai pekerjaan ini”.
Namun perlu dipahami bahwa kesehatan fisik dan psikologis merupakan harta yang sangat berharga, sehingga tidak layak kita menukarnya dengan pekerjaan yang kita miliki saat ini – sebaik apa pun dan sebesar apa pun penghasilannya.
Karena itu, tak ada salahnya kita melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan seperti meditasi, beribadah, berolahraga atau bahkan menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang terdekat, untuk membuat diri kita tetap sehat dan bahagia. Sesekali melakukan peregangan di sela-sela waktu bekerja juga akan membantu kita lebih fokus dan bugar.
Jangan lupa bersyukur atas peran-peran yang kita miliki. Banyak orang merasakan ketidakbahagiaan lebih meningkat bila tidak memiliki pekerjaan. Oleh karenanya, keluar dari pekerjaan bukan solusi terbaik. Rasa syukur bahwa kita masih mampu berkontribusi pada masyarakat dan keluarga bisa membuat kita lebih bahagia.
Meski isu kesehatan mental di tempat kerja mulai mendapat perhatian global, nyatanya hal ini belum menjadi perhatian pemerintah dan para pemberi kerja. Ini dibuktikan dengan minimnya ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan mental bagi para pekerja.
Kesehatan mental juga belum dipertimbangkan pemerintah sebagai penyakit yang menyebabkan disabilitas dalam konteks ketenagakerjaan.
Karena itu, ibu bekerja sebaiknya mulai sadar untuk lebih memperhatikan kondisi kesehatan mentalnya, di tengah tuntutan pekerjaan dan aspirasi keluarga yang mengharuskan dirinya selalu dalam kondisi fisik dan psikologis yang optimal.
Rosatyani Puspita Adiati, Assistant lecturer at Faculty of Psychology, Universitas Airlangga dan Rizqy Amelia Zein, Assistant lecturer in Social and Personality Psychology, Universitas Airlangga
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/Kee)