Lisa Lazard, The Open University; Abigail Locke, University of Bradford; Charlotte Dann, University of Northampton; Rose Capdevila, The Open University, dan Sandra Roper, University of Bedfordshire
Hampir setiap hari, para ibu memposting foto dan status yang menceritakan atau merayakan kehidupan anak mereka. Aktivitas ini disebut dengan istilah “sharenting” (sharing + parenting).
Advertisement
Meski bisa dilihat sebagai bentuk kebanggaan orang tua akan anaknya, kebiasaan ini kerap dikecam jika terlalu sering.
Riset menunjukkan, para ibu adalah sosok yang paling sering memposting informasi tentang anak di media sosial—terutama foto keluarga. Para ibu juga kerap dicibir dan dihakimi gara-gara sharenting ini.
Mereka yang terusik melabeli postingan tentang anak ini “membosankan”, “berulang-ulang” and “mengganggu”. Saking kesalnya, beberapa orang bahkan membentuk grup media sosial seperti STFU Parents, untuk menunjukkan mereka “dibikin sinting” akibat postingan tentang anak dan bayi di timeline mereka.
Sharenting juga telah dicap sebagai sebuah bentuk narsisisme digital. Tak cuma itu, sharenting juga dinilai sebagai bentuk “humblebrag” yang artinya berpura-pura mengeluh tetapi sebenarnya berupaya menarik perhatian orang terhadap sesuatu yang dibanggakan.
Ini satu contoh humblebrag di artikel Huffington Post:
Hampir jatuh dalam perjalanan pulang setelah menjemput Jemima dari ujian cello LEVEL TUJUH. Aduh bodoh.
Kaitan antara humblebrag dan rasa bangga bisa berarti bahwa orang tua—khususnya para ibu—mengalami pergulatan batin ketika memposting tentang anak dan keluarga. Rasa bangga memang bisa memiliki makna positif dan negatif, tetapi emosi ini kerap dikaitkan dengan pengasuhan yang “bagus”.
Riset menunjukkan bahwa ekspresi kebanggaan orang tua ada kaitannya dengan perkembangan moral si anak, serta pengasuhan anak yang berkualitas—yang memegang peranan amat penting dalam masa kanak-kanak.
Rasa bangga adalah kunci
Dalam riset kami sendiri, kami meminta 15 ibu untuk menunjukkan kepada kami beberapa postingan tentang anak dan keluarga mereka, serta menceritakan pengalaman mereka.
Hasilnya, kami menemukan bahwa para ibu paling sering menggunakan kata “bangga” ketika memposting tentang anak mereka yang terkait prestasi, misalnya lomba atau lulus ujian.
Karena rasa bangga adalah hal yang wajar dalam pengasuhan anak yang baik, tak heran bila para ibu tidak melihat ekspresi kebanggaan mereka di media sosial sebagai sebuah masalah.
Sebaliknya, para peserta riset kami menggunakan “rasa bangga” sebagai alasan dan pembenaran ketika memposting konten terkait anak.
Riset kami juga menunjukkan bahwa ekspresi rasa bangga orang tua punya kaitan dengan meningkatnya tuntutan sosial terhadap mereka. Para orang tua, terutama para ibu, diharapkan untuk menyediakan banyak waktu, tenaga, dan pikiran mereka.
Para ibu dituntut untuk memastikan agar anak tidak saja tumbuh sehat, tapi juga unggul dari teman-temannya. Media sosial adalah sebuah cara atau penyaluran bagi orang tua untuk bisa menunjukkan bahwa mereka mampu menjawab tuntutan itu.
Sebuah penyebab konflik
Demonstrasi digital tentang pengasuhan yang baik lama-lama jadi pelik seiring bertambahnya usia anak.
Satu peserta dalam riset kami, misalnya, bercerita bahwa keluarga dia bertengkar setelah suaminya memposting foto putri mereka ke Facebook. Si anak, yang tidak menyukai foto itu, meminta sang ayah untuk menghapusnya. Tapi sang ayah menolak sehingga si anak pun melaporkan ayahnya ke administrator Facebook.
Si anak cemas foto itu dapat dilihat oleh teman sekolahnya, yang dapat membuatnya diejek atau menerima komentar negatif. Sang ibu mengatakan pada kami bahwa Facebook dalam kasus ini berpihak pada sang ayah, dan mempertahankan foto itu.
Yang jadi sumber kebanggaan orang tua ternyata dapat menjadi sumber gangguan bagi kehidupan anak—baik online maupun offline.
Riset kami juga menunjukkan bahwa beberapa ibu percaya memposting foto atau cerita tentang anak adalah cara menghindari konflik digital, karena semua orang sama-sama dikabari.
Bagi para ibu, berbagi tentang anak mereka adalah sebuah cara untuk menjalin kedekatan dan memelihara hubungan dengan sesama. Cara ini juga berlaku di dunia offline, di mana para perempuan lebih sering berbagi cerita dengan anggota keluarga yang lain melalui surat dan telepon, ketimbang para pria.
Para ibu yang terlibat dalam studi kami menganggap, foto dan cerita anak yang mereka posting haruslah mengekspresikan kedekatan keluarga—dan sesuatu yang benar-benar baik tentang anak mereka.
Riset kami tidak melihat postingan para ibu ini sebagai “sharenting” semata, melainkan ekspresi online cinta dan perhatian para ibu di era digital.
Lisa Lazard, Senior Lecturer in Psychology, The Open University; Abigail Locke, Professor in Psychology, University of Bradford; Charlotte Dann, Lecturer in Psychology, University of Northampton; Rose Capdevila, Senior Lecturer in Psychology, The Open University, dan Sandra Roper, Lecturer in Applied Social Studies, University of Bedfordshire
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/kee)