Polemik penerimaan siswa baru tengah dialami dihampir seluruh daerah di Indonesia. Sebab, kini pemerintah menggunakan Sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Tujuan memberlakukan sistem Zonasi ialah sebagai strategi pemerintah dalam mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional, niat baik ini tentu perlu diapresiasi. Namun, dalam prakteknya Permendikbud No. 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, justru banyak menimbulkan kehebohan di masyarakat.
Banyak orang tua yang kebingungan dalam mendaftakan anak sekolahnya karena tidak sesuai dengan zona rumahnya. Tentu para anak-anak pun ikut kecewa karena tidak dapat sekolah yang diinginkan.
Advertisement
Sistem zonasi, menurut Mendikbud, merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Karena, rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah.
Dengan demikian, maka siapa yang lebih dekat dengan sekolah lebih berhak mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah itu. Nilai UN dalam system zonasi bukan untuk membuat rangking masuk sekolah tertentu, tetapi dalam rangka seleksi penempatan. Sehingga tidak berpengaruh pada hak siswa untuk masuk ke dalam sekolah yang dekat dengan rumahnya.
Namun, Retno Listyarti, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI mengatakan KPAI menerima beberapa pengaduan dan menganalisis berbagai kasus PPDB yang terjadi di banyak daerah dan diberitakan di berbagai media massa.
Lebih lanjut, Retno mengatakan keluhan tersebut diantaranya sosialisasi sangat minim, baik sosialisasi Kemdikbud dengan para kepala dinas pendidikan di seluruh Indonesia, maupun sosialisasi Dinas Pendidikan setempat ke masyarakat atau orangtua siswa calon peserta didik baru.
Kemudian kurangnya kepedulian masyarakat terhadap dokumen kependudukan, baru mengurus ketika dibutuhkan, akibatnya banyak anak kehilangan haknya mengakses sekolah terdekat karena kesalahan orangtua yang kurang peduli pada dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran, kartu penduduk dan KK. Terkait hal ini, KPAI menerima pengaduan dari Medan, Cibinong, dan Bekasi.
“Ketentuan radius terdekat tempat tinggal dari sekolah dan ketimpangan jumlah sekolah di suatu zonasi mengakibatkan banyak anak kehilangan hak nya untuk dapat bersekolah di sekolah negeri,” ujar Retno, saat ditemui di kantor KPAI, Jakarta Pusat, Rabu (11/7).
Retno mengatakan, adanya ketimpangan atau tidak meratanya jumlahnya sekolah negeri di suatu wilayah mengakibatkan anak-anak di wilayah yang tidak ada sekolah negeri terdekat akan kehilangan hak bersekolah di sekolah negeri.
Misalnya di desa Bojongkulur, kabupaten Bogor adalah desa berpenduduk terpadat sekabupaten Bogor tapi tidak ada SMP dan SMA negeri di desa itu, akibatnya anak-anak di desa Bojongkulur harus mendaftar di sekolah desa tetangga yang kuotanya hanya 5%. Selain Bogor, juga ada keluhan dari Bandung, Bali, dan Gresik terkait ketimpangan jumlah sekolah negeri.
Atau kawasan yang padat penduduk tetapi hanya ada satu SMP negeri atau bahkan tidak punya SMP negeri. Dengan sistem zonasi, mungkin kuotanya sudah penuh untuk siswa yang rumahnya radius 500 meter dari rumah atau bahkan kurang dari 500 m.
“Misalkan kuota zonasi adalah 200 siswa, yang mendaftar 500, maka 300 orang tidak diterima hanya kalah oleh jarak. Siswa yang rumahnya radius 500 meter kalah oleh siswa yang radius 499 meterc,” tambahnya.
Nilai UN hanya digunakan jika ada dua siswa mempunyai jarak yang sama. Banyak orangtua mengeluhkan bahwa hasil perjuangan anaknya berbulan-bulan untuk UN jadi sia-sia.Karena, Siswa yang nilai rata-rata UN 9 kalah oleh siswa yang nilai rata-rata UN 5 hanya karena beda jarak rumah sekian meter saja.
(vem/asp)