Novi Rahayu Restuningrum, Universitas Yarsi
Penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari semakin banyak di Indonesia. Kita dapat mendengar orang berbicara bahasa Inggris di kantor, bank, sekolah, tempat wisata, dan banyak tempat publik lainnya. Beberapa orang melakukannya dengan sedikit mencampuradukkan dengan bahasa Indonesia.
Advertisement
Sekolah internasional dengan kurikulum berbahasa Inggris telah menjadi favorit baru bagi para orang tua. Di sekolah semacam ini, semua guru menggunakan pengantar bahasa Inggirs di dalam kelas saat berkomunikasi dengan para murid nya. Program dengan pengantar bahasa Inggris ini telah tersedia mulai dari taman kanak-kanan.
Banyak yang merasa takut apabila anak menerima paparan bahasa Inggris lebih awal dapat mengganggu perkembangan bahasanya. Beberapa orang tua dan beberapa pihak khawatir jika anak akan kehilangan bahasa ibunya yaitu bahasa Indonesia.
Saya meneliti tentang pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua pada 2017 dengan mewawancarai 7 orang tua di Jakarta. Orang tua ini percaya bahwa pentingnya memaparkan anak-anak mereka dengan bahasa kedua (asing) ketika anak-anak mereka juga sudah mendapatkan paparan yang cukup terhadap bahasa ibunya.
Berdasarkan penelitian yang tidak dipublikasikan ini dan teori lainnya, saya ingin menjelaskan kapan waktu terbaik untuk memperkenalkan bahasa Inggris kepada anak-anak sebagai bahasa kedua mereka.
Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
Bahasa pertama, atau juga disebut dengan bahasa ibu, adalah bahasa yang pertama kali anak pelajari. Bagi orang Indonesia, bahasa pertama mungkin bahasa Indonesia atau bahasa dari etnis mereka.
Apa yang orang Indonesia sebut sebagai bahasa kedua? Jawabannya adalah tergantung. Bagi orang-orang dengan budaya Jawa yang kuat dan menggunakan bahasa Jawa untuk percakapan sehari-hari mereka, bahasa kedua mereka mungkin bahasa Indonesia. Sementara untuk orang yang menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi sehari-harinya, bahasa kedua mereka mungkin salah satu bahasa etnis mereka atau bahasa asing.
Artinya, bahasa yang muncul setelah bahasa pertama adalah bahasa kedua. Di Indonesia, oleh karena itu, bahasa Inggris bisa menjadi bahasa kedua karena adopsinya datang setelah bahasa ibu atau bahasa pertama.
Popularitas penggunaan bahasa Inggris di sekolah Indonesia
Memiliki keterampilan berkomunikasi dengan orang lain dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda adalah salah satu kunci keberhasilan di era global saat ini. Dalam hal ini, kebutuhan untuk dapat berbahasa Inggris sebagai salah satu bahasa yang paling banyak diucapkan di dunia dianggap penting.
Kesadaran akan pentingnya hal tersebut, beberapa sekolah, termasuk taman kanak-kanak, menyediakan program belajar bahasa Inggris untuk para muridnya. Beberapa bahkan mengadopsi kurikulum ‘internasional’ yang diperkenalkan oleh lembaga pendidikan terkemuka seperti Cambridge International dan International Baccalauriette. Sedangkan sekolah lain mengembangkan kurikulum mereka sendiri dan menjadi sekolah dengan program bilingual.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh Kelompok Konsultan Sekolah Internasional (ISC) menunjukan jumlah sekolah berbasis internasional pada 2018 berjumlah 195, meningkat dari tahun sebelumnya yakni 192. Pada 2017, ISC mengatakan Indonesia memiliki sekolah internasional dengan jumlah paling banyak di Asia Tenggara, diikuti oleh Thailand dengan 181, Malaysia 170, Kamboja 114, Vietnam 111, dan Singapura 110.
Mitos bilingual dan membongkarnya
Terlepas dari pertumbuhan sekolah internasional yang cepat di Indonesia, beberapa orang tua justru merasa khawatir karena mereka beranggapan tren ini akan mengubah anak-anak menjadi bilingual.
Mereka takut anak-anak mereka yang dapat berbicara lebih dari satu bahasa dapat mengurangi kemampuannya untuk menguasai suatu bahasa. Kekhawatiran lain didasarkan pada keyakinan bahwa anak-anak bilingual akan selalu mencampuradukkan bahasa.
Pakar bahasa Francois Grosjean telah menyebut kekhawatiran ini sebagai sebuah mitos. Dia juga mematahkan mitos tentang bilingual ini. Sejauh ini, teori-teori yang berdasar atas riset terhadap bilingualisme telah membuktikan bahwa:
Bilingualisme tidak dapat menghambat pembelajaran bahasa anak
Anak-anak bilingual harus berurusan dengan dua bahasa atau lebih. Namun, anak-anak bilingual memiliki kemampuan yang sama dengan anak yang hanya bisa berbicara dengan satu bahasa dalam menguasai bahasa baru. Teori ini mengatakan bahwa bahasa yang diucapkan dalam konteks keluarga tidak akan menimbulkan efek negatif terhadap bahasa kedua anak-anak. Faktanya, bahasa akan memperkaya proses pembelajaran bahasa anak-anak, karena mereka masih bisa berkomunikasi dengan siapa saja yang tidak berbicara bahasa kedua.
Anak bilingual tidak selalu mencampuradukkan bahasa yang mereka pelajari
Mereka dapat dengan cepat belajar berbicara dengan satu bahasa kepada seseorang yang tidak mengerti bahasa Inggris, misalnya kepada pengasuhnya dan kakek nenek mereka. Anak juga dapat “berusaha untuk berbicara hanya dengan satu bahasa jika mereka merasa penting untuk berkomunikasi”.
Belajar bahasa Inggirs: nanti atau sekarang?
Grosjean telah memperkenalkan proses akuisisi bahasa kedua - setelah menguasai bahasa ibu - yang disebut sequential or successive way (cara berurutan). Pakar bilingualisme Josiane F. Hamers menyebut metode Grosjean sebagai cara consecutive (berurutan).
Orang tua yang berpartisipasi dalam wawancara penelitian membagikan pandangan mereka terhadap pentingnya melengkapi anak mereka dengan kemampuan berbahasa Inggris yang memadai untuk bersaing di pasar global.
Namun, pertanyaan tentang kapan sebaiknya anak mereka mempelajari bahasa Inggris, orang ini terbagi menjadi dua kubu.
Kebanyakan dari orang tua dalam penelitian saya setuju bahwa Metode Grosjean adalah metode terbaik karena memberi anak kesempatan untuk belajar bahasa ibu mereka terlebih dahulu. Mereka percaya dengan mempelajari bahasa ibu terlebih dulu dengan baik sebelum belajar bahasa asing akan membantu anak untuk dapat memahami budaya bahasa pertamanya.
Bagi kelompok ini, waktu yang baik untuk anak mempelajari bahasa lain adalah setelah mereka cukup terpapar dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka. Para orang tua setuju bahwa anak berusia empat tahun adalah usia ideal anak untuk mempelajari bahasa kedua.
Namun, di kubu lain justru menganggap bahwa belajar bahasa Inggris dapat dilakukan sejak tahun-tahun awal anak belajar bahasa. Mereka percaya bahwa anak-anak dapat memperoleh dua bahasa atau lebih pada saat yang sama dari awal. Ini merupakan keterampilan yang digambarkan Grosjean sebagai simultaneous bilingualism
Kedua perspektif tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dapat memperoleh bahasa kedua, baik secara bersamaan maupun berurutan. Sangat menarik untuk dicatat bahwa kedua kubu tidak khawatir bahwa belajar bahasa kedua di sekolah akan mengakibatkan hilangnya bahasa pertama.
Mereka percaya begitu keluar dari konteks atau lingkungan sekolah, anak-anak mereka akan tetap menggunakan bahasa Indonesia, sebagai bahasa dominan, terutama dalam konteks keluarga dan sosial.
Orang dapat kehilangan kemampuan mereka untuk berbicara suatu bahasa hanya setelah mereka tidak menggunakan bahasa tersebut secara berulang. Ini tidak mungkin terjadi kepada anak-anak ini, karena mereka masih menggunakan bahasa Indonesia selepas sekolah.
Oleh karena itu, penting untuk mendorong anak agar belajar bahasa Inggris ketika mereka sudah menguasai bahasa ibu mereka. Setelah anak sudah menguasai bahasa ibu mereka, kekhawatiran tentang kehilangan bahasa pertama dan keterlambatan dalam pengembangan bahasa tidak akan ada lagi.
Novi Rahayu Restuningrum, Lecturer in English, Universitas Yarsi
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/kee)