Monique Robinson, University of Western Australia
Kebanyakan wanita hamil saat ini tentu sudah akrab dengan nasihat kesehatan untuk berhenti merokok, menghindari alkohol, dan menjauhi keju lembut dalam segala bentuk. Tapi nasihat kesehatan publik yang resmi mengenai stres semasa kehamilan masih jarang terdengar.
Advertisement
Padahal kita tahu bahwa tingkat stres yang tinggi itu buruk bagi kesehatan kita secara umum, memengaruhi kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko terkena penyakit—baik menular maupun tidak. Pada masa kehamilan, stres mengandung bahaya tertentu bagi kondisi fisik dan emosional si janin, ibunya, serta keluarga keseluruhan.
Stres semasa kehamilan adalah lumrah, antara lain karena kehamilan itu sendiri dapat menimbulkan stres. Ini terjadi terutama pada kehamilan yang tidak direncanakan (seperti hampir setengah dari jumlah kehamilan di Australia). Kehamilan akan menimbulkan sejumlah perubahan di kehidupan keluarga, termasuk hubungan orang tua, pendapatan dan pekerjaan, serta penyesuaian lain seperti pindah rumah. Terkadang stres muncul terkait kejadian tertentu, tetapi juga bisa dialami sebagai kegelisahan atau kecemasan yang terus-menerus.
Dampak stres
Pada kehamilan, stres dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran prematur dan berat badan bayi yang lebih rendah saat lahir. Kelahiran prematur adalah penyebab utama kematian dan cacat balita di Australia.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stres semasa hamil lebih rentan terkena asma dan alergi pada masa kanak-kanak, serta lebih sering dirawat di rumah sakit akibat penyakit menular seperti gangguan pernapasan dan pencernaan.
Selain itu, riset juga telah menelaah dampak stres semasa kehamilan terhadap kecerdasan dan kesehatan mental anak di kemudian hari. Anak-anak yang ibunya stres ketika hamil lebih rentan mengidap masalah perilaku selama masa kanak-kanak. Beberapa penelitian juga menunjukkan berkurangnya kemampuan kecerdasan pada anak-anak yang ibunya mengalami bencana alam ketika hamil.
Ibu-ibu yang mengalami stres atau kegelisahan semasa hamil juga lebih berisiko terkena depresi setelah melahirkan, dan stres semasa hamil dapat menimbulkan dampak jangka panjang bagi keluarga secara keseluruhan.
Bagaimana ini terjadi?
Kebanyakan dari kita masih sulit memahami bagaimana mungkin sesuatu yang terjadi dalam pikiran ibu, dapat kemudian menimbulkan masalah pada anak (baik masalah mental maupun kesehatan fisik). Beberapa teori mengatakan, perubahan hormon, metabolisme, dan fisiologi semasa kehamilan berdampak langsung pada perkembangan janin, sehingga “memprogram” janin itu untuk beradaptasi dan berkembang dengan cara spesifik.
Mengalami stres dapat meningkatkan sirkulasi hormon stres kortisol, yang kemudian menembus plasenta ke janin, dan mengubah susunan hormon serta mengganggu perkembangan janin, baik fisik maupun sarafnya.
Akibat terpapar kortisol yang meningkat, janin yang tengah berkembang pun bersiap menghadapi dunia yang, menurut ibunya, membuat stres. Akibatnya, masalah perilaku pada anak akan timbul dan ini bisa dibilang upaya adaptasi si janin. Sebagai contoh, jika seorang anak diprogram untuk bertahan di tengah dunia yang membuat stres, maka dia harus teramat waspada terhadap potensi bahaya (akibatnya ia jadi kurang bisa konsentrasi pada satu hal). Dia pun menjadi hiperaktif (siap bergerak dan menjelajah), kasar jika harus berkelahi melawan pemangsa, dan lebih sensitif terhadap lingkungan.
Ini semua adalah gejala masalah perilaku seperti kegelisahan, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD), dan gangguan perilaku.
Cara mengurangi stres pada masa kehamilan
Tidak seperti merokok, alkohol, dan keju yang tidak terpasteurisasi, kita tidak bisa begitu saja berhenti dan mengenyahkan stres dari kehidupan kita yang sibuk. Tapi ada banyak cara untuk mengurangi dan mengatur stres. Bahkan, sebagai bonus, mengurangi stres pada masa kehamilan dapat membuat periode setelah kelahiran jadi lebih mulus.
Beberapa cara mengurangi stres antara lain memanfaatkan dukungan sosial, misalnya menghabiskan waktu bersama teman-teman atau menerima bantuan dari orang sekitar guna mengurangi beban di aktivitas keseharian.
Olahraga ringan, yoga, meditasi, dan relaksasi semuanya dapat membantu mengatur stres. Kelas yoga memang terkesan elit atau tak terjangkau, tetapi sebuah studi terhadap remaja hamil yang kurang mampu di perkotaan di AS baru-baru ini menunjukkan bahwa yoga berkelompok adalah metode yang menarik untuk mengurangi stres dan menjawab kecemasan di antara mereka. Menjadwalkan waktu cuti dan mendiskusikan beban pekerjaan semasa kehamilan bersama bos, juga bisa menjadi cara lain mengurangi stres.
Ketika stres bertambah berat, adalah sangat penting untuk menemui dokter yang dapat merujuk Anda ke seorang psikolog yang dapat membantu Anda mengurangi stres di kehidupan.
Bisa ditanggulangi
Walau riset dan penelitian yang disebut di atas terdengar mengerikan, sebuah lingkungan yang sehat dan bahagia setelah kelahiran ternyata dapat menghilangkan banyak risiko akibat stres saat hamil bagi ibu dan anak.
Konsep ini dikenal dengan nama “plastisitas perkembangan”, yang maksudnya adalah kemampuan otak untuk beradaptasi dan berubah. Proses plastisitas perkembangan sangat aktif pada awal masa kanak-kanak. Bucharest Early Intervention Project adalah contoh terbaik mengenai hal ini. Bayi-bayi di AS yang diadopsi dari panti asuhan di Rumania ternyata dapat menanggulangi “kerusakan” akibat pengabaian dengan cinta dan asuhan.
Membangun ketahanan keluarga dan anak dalam menghadapi stres adalah sangat penting, dan itulah mengapa kita harus menguasai strategi manajemen stres—tidak saja pada saat kehamilan, tapi juga pada tahun-tahun awal pengasuhan dan perkembangan anak.
Monique Robinson, Early Career Fellow, Telethon Kids Institute, University of Western Australia
This article was originally published on The Conversation. Read the original article.
(vem/kee)