Bayangkan perempuan tinggi, langsing dalam gaun besutan Versace, sedang berdiri di bawah langit berbintang. Berdansa dengan pasangannya mengikuti alunan musik yang ada di dalam kepala mereka karena malam itu sangat sunyi, khidmat dan romantis.
Tetapi gaun super mahal buatan rumah mode Italia hanya akan berakhir di lantai di ujung malam. Karena, walaupun terlihat cantik, Bruno Mars bertekad menjatuhkan gaun itu di lantai.
Paling tidak itulah terjemahan visual secara bebas dari “Versace on the Floor”, lagu Bruno Mars yang lebih dahulu mengguncang tangga lagu dunia jauh sebelum “Despacito”.
Advertisement
Ngeri? Sejujurnya sulit saya menjawab karena persepsi itu sangat pribadi dan tidak bisa digeneralisir. Yang pasti, saya mendengar lagu, menikmati kejeniusan para musisi dan memahami liriknya dengan kepala jernih. Bukan dengan pikiran kotor, semacam membaca 50 Shades of Gray dengan visualisasi di dalam kepala.
Mungkin karena saya orang dewasa (ahem)dan bisa membedakan ini Bruno Mars sedang nyanyi untuk dunia, bukan bisik-bisik di telinga saya, hanya untuk saya. Jangan ge er, intinya.
Ear Porn Bukan Barang Baru
Apakah Bruno Mars adalah orang pertama yang mengungkapkan rasa birahi dalam lagunya? Apakah zaman sebelum iTunes, Youtube dan Spotify tidak ada lagu-lagu semacam itu?
Jangan sedih, banyak sekali. Dari Marvin Gaye sampai Sade, bahkan band metal, grup-grup aliran grunge pun punya lagu-lagu yang bercerita tentang keintiman orang dewasa. Tapi namanya juga lagu romansa. Tema percintaan dewasa yang paling laku di antara penulis lagu dan digemari pecinta musik sepanjang zaman – baik tua dan muda. Saya pribadi tumbuh besar mendengarkan lagu-lagu orang dewasa karena kebetulan dilahirkan sebagai anak paling kecil di keluarga.
Lalu mengapa juga tiba-tiba kita (kita? kalian mungkin) membuat gaduh dengan arti lirik Despacito, seolah-olah ini adalah ear porn, lagu pertama di dunia yang secara eksplisit pertama memuja-muja birahi dan syahwat belaka sehingga anak-anak harus tidak boleh mendengarkan, bahkan menyanyikannya.
Perdebatan soal moral dan nilai-nilai pendidikan lalu beterbangan dengan bebas dan liar di grup-grup chatting.
Selalu, kita ini menjadi seperti sekelompok orang dari sebuah bangsa yang baru sadar dari tidur panjang, bukan karena ingin bangun dan bersih-bersih sarang laba-laba di rumah kita, tapi bangun karena kaget terkena sambaran petir dan panik seolah-olah kebakaran jenggot, tanpa sadar tidak semua dari kita berjenggot.
Tiba-tiba semua menjadi masalah yang laik dijadikan perdebatan. Semua. Karena negara tetangga mempermasalahkan, kita pun latah menjadikan persoalan.
Menurut BBC, negara tetangga Malaysia telah melarang lagu genre dance milik musisi Puerto Rico Luis Fonsi dan Daddy Yankee ini dari radio dan televisi milik pemerintah, bukan pada perusahaan penyiaran swasta, karena liriknya yang dianggap ‘tidak senonoh’.
Bahkan pejabat negara Malaysia menyebut perihal ini adalah soal yang serius, anak-anak muda menyanyikan lagu berbahasa Spanyol ini tanpa tahu makna sesungguhnya.
Tidak bisa dipungkiri kalau Despacito memimpin di semua platform media sosial dengan 4,6 miliar stream. Bisa jadi ini adalah lagu pop berbahasa Spanyol paling sukses sepanjang masa. Bahkan di kanal Youtube, Despacito menduduki ranking ketiga sebagai video paling banyak ditonton, dengan catatan fantastis 2,7 miliar views.
Tanggung Jawab Orangtua
Stasiun radio mungkin bisa diminta untuk tidak memutar lagu-lagu yang dianggap ear porn di frekuensi mereka. Tapi apa daya kita ketika anak-anak sudah bisa mengakses Internet, membuka Youtube dan mengunduh Vevo dari berbagai kanal lainnya.
Seandainya anak-anak memang tidak boleh mendengarkan dan bahkan ikut menyanyikan lagu-lagu dewasa, ya buatkanlah lagu anak-anak lebih banyak. Mengapa tidak? Toh, pernah ada satu masa di mana lagu anak-anak berjaya.
Kalau negeri ini kering dengan lagu-lagu anak-anak, apa kita akan melarang anak-anak bernyanyi? Musik berbahasa asing menjadi momok yang menakutkan karena kita tidak paham maknanya. Siapa tahu lagu-lagunya berisi ajakan untuk bunuh diri massal, menghujat orangtua dan bahkan mengkhianati bangsa.
Mungkin saatnya orang tua mulai berbicara dengan kepala dingin dan mengingat lagi bahwa mereka juga pernah muda. Kita juga paling tidak pernah mendengar Boyz II Men menyanyikan "I’ll Make Love To You" dan apakah kita menjadi "girang" lalu ingin melakukan apa yang diceritakan dalam lagu itu? Lagi-lagi salah siapa sebenarnya? Sebagai orang tua sering kali kita menuding kanan-kiri, depan dan belakang tanpa sadar bahwa kita bereaksi berlebihan karena ini menyangkut masa depan anak, menyangkut kebaikan generasi muda.
Apa kabar generasi tahun 60an atau 70an yang suka mendengarkan lagu-lagu dengan lirik yang menceritakan keintiman yang populer di masa mereka muda? Apakah mereka tumbuh menjadi pribadi bengis, tak kenal welas asih dan hanya memikirkan kepuasan dahaga seks semata?
Kita tentu tidak menutup mata kalau memang ada kasus-kasus yang dilaporkan media, yang menyebut pelaku kekerasan seksual, misalnya, terpancing melakukan tindakan asusila setelah menonton aksi porno di video. Ini adalah laporan media, yang mengutip pelaku yang menyederhanakan "excuse" untuk tindakan asusila mereka.
Namun, jangan-jangan kita dengan mudah menuding kanan kiri karena kita, generasi tua ini, mencoba menghindar dari tanggung jawab kita terhadap anak-anak yang belum paham bahwa "baju atau gincu Versace yang mahal" pun tidak cukup menyenangkan hati Bruno Mars. Bukan bajunya yang penting ternyata (tapi isi bajunya). Anak-anak sih pasti belum paham.
*Artikel ditulis oleh Gincu Merah, ibu bekerja dan sahabat Vemale.
(vem/nda)