Setelah skip challenge, kini anak-anak tengah asyik bermain challenge berbahaya lainnya yaitu eraser challenge. Apa itu eraser challenge? Jadi dalam permainan ini anak akan menggosok-gosokkan penghapus ke tangan, siapa yang paling lama melakukan challenge tersebut, dialah yang akan keluar menjadi pemenang.
Bayangkan Moms, bagaimana menyakitkannya permainan tersebut? Anehnya, generasi muda zaman sekarang sangat menyukai permainan berbahaya tersebut. Lantas, mengapa hal itu terjadi?
Maharani Ardi Putri MSi., psikolog Kabiro Humas & Ventura menjelaskan, pada dasarnya, sesuai tahap perkembangannya, anak usia remaja masih suka bereksplorasi dan menunjukkan hasil eksplorasinya.
Advertisement
Namun, kini hal tersebut terkesan pamer. Menurut Maharani hal ini terjadi karena media cukup banyak, terutama media sosial.
"Rasanya titik beratnya bukan pada pamernya tapi lebih karena mereka senang mendapat feedback dari hal-hal yang mereka upload di media sosial. Walaupun kadang feedback yang mereka dapatkan negatif tetapi bagi mereka itu tetap bukti bahwa mereka diperhatikan," ujar Psikolog Maharani saat dihubungi tim Vemale.com.
Fenomena ini terjadi bukan karena mereka memang senang menyakiti diri sendiri, namun memang mereka mencari hal-hal yang menantang bagi dirinya.
"Semakin menantang pengalamannya semakin menarik bagi mereka. Kadang kita suka bercanda ‘bahwa saat jadi remaja suka merasa nyawanya ada 9’ artinya mereka jarang merasa takut. Apalagi jika teman-temannya juga melakukan. Keinginan remaja untuk sama dengan kelompoknya masih besar sebab mereka ingin merasa diterima. Dikatakan ‘hebat’, ‘keren’, ‘cool’ sangat berarti besar bagi remaja. Karena itu mereka terdorong untuk melakukan hal-hal berbahaya," tambahnya.
Melihat keinginan remaja yang begitu besar pun, sebagai orangtua kita wajib lebih pintar dari sang anak. Agar kita mengetahui hal terbaik apa yang diberikan pada anak dengan cara yang lebih pintar pula. Psikolog Maharani pun menyarankan sebagai orangtua kita juga perlu melek teknologi untuk melihat tren yang sedang digemari.
"Sebagai orangtua kita nggak bisa lagi nggak gaul. Kita perlu ikut browsing-browsing untuk liat tren remaja sekarang. Dengan hal itu, kita bisa waspada lebih awal. Selain itu dengarkan cerita-cerita anak kita, catat beberapa hal yang menurut kita mengkhawatirkan dan cari konfirmasinya," ujarnya.
Memiliki komunitas akan jauh lebih baik, menurut Maharani kita akan memiliki banyak informasi dari perkumpulan tersebut. Setelah mendapatkan informasi yang lengkap, ajak anak untuk berbicara, katakan batas-batasan apa saja yang kita dapat terima dan apa alasannya. Letakkan tanggung jawab pada mereka.
Tak hanya orangtua saja yang harus peduli terhadap fenomena ini. Namun, sebagai pengguna internet kita pun dituntut untuk menyikapi masalah ini.
"Kita perlu memahami bahwa cara berpikir remaja dengan orang dewasa berbeda. Karena itu komen dengan mengatai atau menyindir tidak akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Sebaiknya kita menyiapkan data, alasan atau penjelasan yang lebih ilmiah, karena hal ini akan lebih membuat mereka berpikir," tutupnya.
Saatnya kita untuk lebih waspada dengan ragam challenge yang marak di internet dan membahayakan. Jangan sampai anak atau orang terdekat kita jadi korbannya, ya Moms!
(vem/asp/nda)