Note: Tulisan ini dibuat bukan bertujuan untuk menyudutkan dan menghakimi pihak manapun.
Sejak minggu lalu, grup chat keluarga dan ibu-ibu teman sekolah anak saya ramai. Topiknya soal tokoh gay yang ada di film terbaru besutan Disney, “Beauty and The Beast”. Tak hanya itu, film kartun remaja di Disney Channel yang berjudul “Star VS The Forces of Evil” juga menampilkan adegan ciuman antara laki-laki di episode terbarunya yang tayang minggu lalu.
Berbagai tanggapan soal film-film tersebut berseliweran di aplikasi ponsel saya. Kebanyakan merasa panik. Tak sedikit juga yang merasa kecewa dengan Disney, karena dianggap mempertontonkan perilaku yang dianggap menyimpang. Kegelisahan ini tak hanya terjadi di Indonesia, seluruh dunia pun mengalami kegelisahan yang sama.
Dikutip dari Washington Post, Sabtu (4/3), bioskop di Alabama memutuskan untuk tidak menanyangkan film “Beauty and The Beast” yang dibintangi oleh si cantik Emma Watson. Tak hanya itu, Rusia juga dikabarkan akan melarang penayangan film tersebut. Sebenarnya, dalam ‘Beauty and The Beast” karakter gay tidak digambarkan sejelas di film “Star VS The Forces of Evil”. Hanya saja sang sutradara, Bill Condon dalam sebuah interview berkata bahwa salah satu karakter antagonis di film tersebut yang bernama Lefou memiliki kebingungan (akan perasaannya) terhadap Gaston (karakter antagonis utama). Klik di sini untuk melihat cuplikannya.
“LeFou is somebody who on one day wants to be Gaston and on another day wants to kiss Gaston,” (LeFou adalah seseorang yang suatu hari ia ingin menjadi Gaston, dan di hari lain ingin mencium Gaston). Ujar Bill menjelaskan karakter dalam filmnya. Lalu sebagai orangtua, harus bagaimana kita menyikapi hal ini?
1. Panik dan emosional sama sekali tak berguna
Cepat atau lambat, anak akan menemui banyak hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita ajarkan kepadanya. Ketimbang panik dan emosi lalu menyalahkan pihak lain, lebih baik jadilah tameng anak. Orangtua adalah saringan paling efektif. Saya tak hanya berbicara tentang konten dari Disney, tapi juga hal lain. Pastikan bahwa film, mainan, buku dan apapun yang dikonsumsi anak, sudah difilter terlebih dahulu. Jangan mentang-mentang produk Disney, Anda jadi lalai. Mentang-mentang buku itu ada di bagian buku anak-anak (saat di toko), Anda tak perlu membacanya lagi sebelum membeli. Tidak, bukan seperti itu cara kerjanya. Andalah yang harus menjadi filternya. Kenali betul apapun yang dikonsumsi anak. Jangan menjatuhkan tanggung jawab Anda sebagai orangtua ke pada Disney atau yang lainnya.
2. Perhatikan lagi label yang diberikan
Menyambung poin di atas, kadangkala kelalaian orangtua adalah tidak mengenal label dan konten yang dikonsumsi anak. Misalnya Disney Channel. Kalau Anda perhatikan lagi, kebanyakan acara di Disney Channel (walaupun berupa kartun) namun diperuntukkan bagi remaja. Serial kartun “Star VS The Forces of Evil” yang ditayangkan di sana pun jalan ceritanya untuk remaja. Di episode yang menampilkan ciuman antar lelaki itu, sang karakter utama sedang menonton konser bersama sahabat yang ia taksir diam-diam. Di dalam konser itu digambarkan banyak orang jatuh cinta, termasuk pasangan gay (klik di sini untuk melihat cuplikan filmnya). Jalan cerita ini tentunya sudah bisa dipahami oleh anak-anak di usia remaja. Jika Anda mencari channel untuk anak-anak, Disney memiliki channel Disney Junior, yang kontennya sudah disesuaikan.
Ini juga berlaku saat Anda memilih buku atau film bioskop. Beberapa waktu lalu heboh di sosial media, banyak orangtua yang mengajak anaknya menonton film besutan Marvel, "Logan". Padahal sudah jelas film tersebut memiliki kode R yang berarti Restricted, karena dipenuhi konten yang sadis. Namun banyak orangtua yang ‘cuek’ mengajak anaknya karena menganggap film itu adalah film superhero pada umumnya.
3. Pendampingan itu penting
Setelah melakukan penyaringan, pendampingan juga penting. Misalnya untuk menjelaskan karakter LeFou di film ‘Beauty and The Beast’ yang tidak digambarkan gay secara eksplisit. Kita bisa menjelaskan bahwa kadang kita bisa mengalami kekaguman yang besar terhadap teman kita yang jenis kelaminnya sama. Tapi belum tentu itu berarti perasaan yang lebih. Hanya kekaguman karena orang tersebut sangat hebat dan pintar. Sehingga anak-anak tidak menyalahartikan film yang ia tonton. Pendampingan ini tak hanya dilakukan untuk anak yang masih kecil saja, tapi juga untuk anak yang remaja. Sehingga apapun konten yang ia konsumsi tidak disalahartikan.
Moms punya pendapat lain? Silakan share di kolom komentar ya!
Advertisement