Menjadi ibu dimulai saat sahabat kami ini SMA. Dia menjadi ibu untuk kedua adik setelah sang ibu meninggal. Kemudian dokter memberi diagnosa bahwa sahabat kami akan sulit memiliki anak. Namun apa yang mustahil bagi Tuhan Yang Maha Baik? Kisah ini merupakan salah satu kisah yang dilombakan dalam Lomba Menulis Bangga Menjadi Ibu.
***
Ceritaku mungkin tak sebahagia yang lain tapi buatku ini sangat bermakna. Ibuku meninggal saat aku kelas 3 SMA, dan ibu meninggalkan tanggung jawab besar buatku yaitu menjadi ibu untuk kedua adikku karena aku anak perempuan satu-satunya. Awalnya ini sangat berat buatku, mengurus dua adik yang masih kecil dan susah diatur, kalau dibiarkan kasihan, jika diberi tahu yang baik malah nyolot. Semua itu sangat membuat stress. Terlebih lagi ayah kami seolah tidak peduli dengan kami, dia asyik dengan dunianya sendiri. Ayah hanya memberikan uang saku yang dia rasa sudah cukup memberikan kebutuhan kami. Tapi itu tidak benar, karena yang dibutuhkan adik-adikku bukan hanya uang tapi juga kasih sayang.
Advertisement
Aku Dianggap Diktaror Oleh Adik-Adikku
Selang beberapa tahun, aku mulai terbiasa dengan peranku sebagai ibu mereka, aku tidak bisa jauh lama-lama dari mereka. Mereka mulai mengerti dengan kondisi keluarga kami dan mereka mau menuruti apa saja aturan yang aku buat untuk menjaga diri mereka dari pergaulan yang liar di luar sana. Aku sangat cerewet, mereka tidak boleh merokok, tidak boleh mencoba minuman keras, boleh punya pacar tapi jaga jarak aman, harus sopan sama perempuan, tidak boleh pulang malam, tidak boleh ikut–ikutan gank motor dan sebagainya sampai mereka selalu bilang aku diktator. Mereka selalu protes dengan apapun yang aku larang tapi mereka tidak pernah melanggar apapun yang sudah menjadi aturanku.
Sekarang adik-adikku sudah besar dan mereka bisa menentukan mana yang baik dan buruk buat mereka. Sekarang aku menjadi teman curhat mereka dan membantu mereka memilih yang terbaik untuk hidup mereka ke depannya.
Dokter Mendiagnosa Aku Akan Susah Punya Anak
Dengan kehidupan yang demikian, aku tetap sama seperti anak perempuan lain. Aku kadang nongkrong di mall setelah pulang kuliah, jalan-jalan, punya pacar, namun prioritasku tetap mengurus adik-adikku di rumah. Tahun kedua kuliah, aku sempat sakit cukup parah. Dari sana ketahuan kalau ada masalah dengan rahimku, dokter bilang aku akan susah punya anak kalau sudah menikah nanti. Bukan nggak bisa punya anak tapi kemungkinannya hanya 5 persen saja aku bisa hamil.
Aku sedih itu pasti, kecewa, kenapa itu semua terjadi padaku. Itu yang selalu ada di pikiranku. Lalu aku bertemu dengan seorang pria yang sekarang menjadi suamiku. Sebelum kami menikah aku mengatakan segalanya tentang keluargaku dan kondisiku, dia menerimanya. Kami pun membuat perjanjian jika dalam 5 tahun aku tidak bisa hamil, dia bisa menikah lagi.
Dia beberapa kali selingkuh dan aku memutuskan untuk bercerai karena aku sudah tidak sanggup lagi diam menahan rasa sakit akibat kelakuannya, tapi Tuhan berkata lain. Di tahun ke 3 pernikahan kami, aku hamil dan kami bisa memiliki anak. Aku berpikir semuanya akan berubah ketika aku hamil, tapi ternyata tidak. Suamiku malah semakin tak terkendali. Aku memberitahu mertua tentang hal ini namun mereka malah menyuruhku mengalah demi anak yang aku kandung, dan aku juga harus menyelamatkan harga diri keluarga suamiku, itu kata mertuaku.
Tidak cukup di sana, adikku yang paling besar tahu ayah kami menjalin hubungan dengan perempuan yang usianya baru 16 tahun. Dia marah dan mengamuk, dia pergi dari rumah dan aku mengalami pendarahan karena tertekan. Entah bagaimana ceritanya adikku tahu aku sedang sakit, dia pulang dan berjanji akan mendengarkan apapun yang aku katakan.
Dua bulan kemudian kakek kami sakit tetanus dan dia meninggal, kakek yang selalu ada bersama aku dan adik-adikku, yang menjaga kami lebih dari siapapun meninggalkan kami selamanya. Kami bertiga hanya bisa menangis dan terdiam, aku merasa Tuhan sudah mengambil segalanya dariku, pernikahanku yang berantakan, keluargaku yang terus bersitegang, dan kakekku meninggal.
Dari Semua Kesedihan Itu, Tuhan Memberi Kebahagiaan Luar Biasa
Beberapa minggu kemudian aku melahirkan bayi laki-laki yang tampan dan sehat. Mendengar suara tangisnya membuatku tidak percaya aku benar-benar melahirkan bayi dan aku menjadi ibu seutuhnya. Dalam sekejap rasanya Tuhan telah mengembalikan kebahagiaanku lagi, seorang bayi yang benar-benar mengubah hidupku dan keluargaku.
Orang-orang bilang aku cuma beruntung bisa hamil setelah diagnosis susah punya anak oleh dokter. Tapi buatku, ini bukan cuma keberuntungan, ini adalah keajaiban yang ditunjukkan Tuhan padaku, anugerah Tuhan buatku. Anakku sekarang sudah besar, dia lincah dan menggemaskan. Dia adalah vitamin buatku, membuatku tertawa meskipun aku sedang sedih, dia segalanya buatku dan aku memaafkan suamiku untuk anakku. Adikku yang paling besar sudah kuliah, ini tahun keduanya, dan yang bungsu sudah masuk SMP. Ayah kami sudah menikah dengan perempuan pilihannya dan adik-adikku lebih memilih ikut denganku, seorang kakak yang menjadi ibu buat mereka.
Terima kasih, Tuhan. Aku masih bertahan karena mereka, dan aku bahagia bisa mendapatkan gelar yang paling istimewa yaitu seorang ibu.
(vem/yel)