Jadi ibu memang tak pernah terlintas seperti apa, terkadang kamu ingin anakmu seperti si A, si B atau si C. Tapi begitu melahirkannya sendiri, kamu hanya ingin anakmu menjadi dirinya sendiri. Ini juga yang coba diceritakan Retno Manggali yang mengirimkan kisahnya ke Lomba Bangga Menjadi Ibu.
***
Sedikit pun tak pernah terlintas dalam pikiranku saat itu, tentang diriku yang kelak akan menjadi seorang ibu. Aku gadis yang begitu bersemangat untuk mengejar impian tentang karir di masa depan. Tak disangka muaranya ternyata aku menjadi seorang guru sekolah dasar. Aku yang belia mulai terbiasa dengan sebutan Bu guru. Begitulah bocah-bocah mungil terbiasa memanggil. Asing rasanya berada di dunia baru, dunia unik yang berisik tapi asyik. Tak pelak sebuah tuntutan peran mengharuskanku untuk menjadi seorang ibu, ya... setidaknya mendekati pribadi seorang ibu. Itulah aku ketika pertama kali menjadi ibu.
Advertisement
Tak terhitung cerita tentang suka cita dan tawa canda di sekolah. Semua begitu mengalir dengan murni, sangat aku nikmati peranku menjadi “ibu” bagi anak-anakku di tempat itu. Sedikit demi sedikit semburat tentang impian menjadi seorang ibu yang sebenarnya mulai tercipta. Banyak sekali angan-angan yang ingin aku wujudkan jika nanti aku menjadi seorang ibu. Misalnya, aku nanti harus mencetak anakku menjadi anak cerdas seperti muridku yang bernama Dian, juga menjadi anak berbakat di bidang seni seperti si kecil Okta, atau aku berharap nanti anakku menjadi anak yang santun seperti muridku Irwan, dan masih ada segudang keinginan lain yang ingin aku wujudkan ketika suatu hari nanti aku memiliki seorang anak.
Akhirnya Tuhan memberikan jodoh untukku, kami menikah setelah lima tahun aku menjadi ibu di sekolah. Impianku yang dulu untuk memiliki anak dan mendidiknya seperti yang kumau rasanya akan segera terwujud karena di bulan ketiga pernikahan kami, aku positif hamil. Oh Tuhan, entah rasa apa ini yang begitu campur aduk saat aku tahu ada kehidupan baru dalam rahimku. Inikah babak baru bagi seorang wanita? Ada sensasi yang tak dapat kuungkapkan saat tangan ini mengusap perut, apalagi ketika si kecil dalam rahimku sudah bisa diajak bercanda. Yang terasa seperti ada kebahagiaan memenuhi rongga dada hingga tak ada sedikit pun tempat untuk perasaan selain itu. Ingin sekali rasanya segera menyambut bayiku lahir di dunia.
“Aku menjadi seorang ibu” itu saja yang bisa kuungkapkan bersama peluh dan air mata saat bayiku lahir. Semua istilah kebahagiaan ingin kuteriakkan dengan lantang untuk menyambut malaikat kecilku. Tak terbukti kata-kata yang pernah aku dengar tentang melahirkan yang rasanya sakit. Nyatanya, perih dan nyeri saat itu hanya seperti fatamorgana yang tiba-tiba musnah saat dilakukan inisiasi, yang terasa saat itu hanya detak jantungnya yang cepat di dadaku. Baru kusadari juga kalau perjuangan saat melahirkan itu bukan derita, melainkan cermin tekad seorang ibu demi permata hatinya.
Hari-hari kami lalui dengan celotehnya, tangisnya, tingkah lucunya, pulas tidurnya, dan semuanya tentang bayi kecil kami yang sekarang telah tumbuh menjadi gadis kecil. Impianku yang dulu ingin anak jadi A, B, dan C kini mulai tersamarkan. Tak ada daya rasanya untuk mencetak anakku menjadi anak yang cerdas seperti muridku, karena aku lebih memilih menjadi seorang ibu yang selalu menjaganya agar selamat, sekalipun terjatuh ketika ia menjadi petualang kecil yang sedang mencari tahu tentang dunianya.
Aku juga kehilangan minat untuk menentukan bakat apa yang harus didalaminya, karena aku lebih memilih menjadi pengawal setia yang menyediakan segala kebutuhan agar dia menemukan potensi diri yang akan ditekuni dan yang membuatnya nyaman. Tak ingin pula menjadi seorang ibu yang menetapkan banyak aturan bagi buah hatiku, karena setiap kali menatap bola matanya yang bulat, dalam hati dan pikiranku, aku lebih ingin menjadi model yang dapat diteladaninya tanpa rasa terpaksa hingga dia menjadi anak yang berbudi pekerti baik.
Tuhan, terima kasih atas kepercayaan yang engkau berikan kepadaku untuk menjadi seorang ibu. Tak hanya menjadi ibu untuk anak yang lahir dari rahim ini tapi juga bagi mereka yang memanggilku ibu saat menyongsong masa depannya. Tak akan kudapatkan semua hal istimewa ini bila aku bukan seorang ibu. Tak ada pula lencana kehormatan yang bisa memberikan kebanggaan lebih dari anugerah-Mu menjadikanku seorang ibu.
- Seorang Ibu Memang Bukan Manusia Super yang Bisa Segalanya
- Demi Bisa Memasak, Saya Sampai Konsultasi ke Psikolog
- Meski Tiap Hari Seperti Diuji, Jadi Ibu Itu Kebanggaan Tersendiri
- Tantangannya Begitu Besar, Tapi Aku Tak Menyesal Melahirkannya
- Tak Pernah Akrab Dengan Anak-Anak, Kini Aku Berubah 180 Derajat