Ibu memang bukan manusia super yang bisa segalanya. Seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale ini untuk mengikuti Lomba Bangga Menjadi Ibu ini. Ia menceritakan sebuah pengalaman yang sempat membuatnya merasa gagal sebagai seorang ibu. Tapi ia tetap berusaha melakukan yang terbaik dalam menjalani perannya.
***
Belum semenit kita bertemu, bidan sudah membawamu ke ruang NICU. Katanya, kamu perlu diobservasi karena khawatir ada air ketuban yang terhirup ke tubuh. Malam pertama kehadiranmu di dunia, kamu lewatkan di NICU bersama kawan-kawan barumu. Sementara itu ibu masih tergolek kelelahan di ruang bersalin, tepat di seberang ruanganmu.
Pagi harinya, tepat pukul tujuh, perawat mendorongmu di atas kereta menuju kamar ibu. Akhirnya ibu bisa memandangimu lebih lama. Kini kamu terlihat bersih dalam balutan bedong kain warna kuning. Kita berpegangan. Tanganmu sungguh mungil menyentuh jari ibu. Perasaan melebihi bahagia mengalir di sekujur tubuh ibu. Entah kata apa yang tepat untuk menggambarkannya.
Namun ketika melihat kakimu, senyum ibu memudar. Ada bekas suntikan berwarna biru keunguan. Ibu menyadari, tindakan ini dilakukan dokter untuk mengantisipasi efek dari plasenta yang masuk ke tubuhmu. Apa tadi kamu menangis saat dokter menyuntikmu? Apa kamu mengerti dan merasakan sakit?
Progress-mu sungguh bagus sehingga dokter mengizinkan kita pulang 3 hari kemudian. Dalam hati ibu berkata, “Semoga jarang bertemu lagi dengan rumah sakit ini.”
Advertisement
Akan tetapi nasib berkata lain. Kamu kembali menginap di NICU saat usiamu 15 hari. Kali ini karena pneumonia yang menggerogoti paru-parumu. Ibu tak dapat menahan air mata saat harus menandatangani surat persetujuan orang tua untuk mengizinkanmu dirawat di sini. Haruskah? Mengapa tidak dirawat di rumah saja? Kala itu ibu merasa gagal menjadi ibu. Belum genap sebulan dan ibu sudah gagal menjaga amanah yang diberikan Tuhan untuk dijaga dengan baik.
Berkat dukungan dari ayah dan keluarga, ibu belajar ikhlas. Ibu menata hati dan pikiran untuk merelakanmu tinggal sementara di NICU. Di sana tempat terbaikmu selama penyembuhan supaya kamu mendapat perawatan intensif dari tenaga medis yang lebih kompeten dibanding ibu. Kita masih bisa berjumpa dua kali sehari, pagi dan sore saat ibu mengantar ASIP untuk nutrisimu.
ASIP yang tersimpan dalam botol-botol kaca itu ibu pompa tiap dua jam. Rasa lelah terobati melihat hasil pumping yang semakin hari semakin bertambah. Perawat yang menunggumu di NICU pun menyemangati ibu. Beliau memuji ASIP yang stoknya melimpah sehingga kebutuhanmu tercukupi, tak perlu tambahan susu formula. Alhamdulillah, lega rasanya.
Tak perlu berlama-lama, di hari keempat dokter membawa kabar baik. Kamu boleh pulang, Nak. Keluarga besar sudah rindu menimangmu di rumah. Terima kasih, ya Allah. Malam itu kita tidur di kamar yang sama. Bagaimanapun tinggal di rumah sendiri lebih nyaman.
Tidak ada sekolah formal menjadi seorang ibu. Pelajaran demi pelajaran ibu dapatkan saat mengasuhmu. Kadang berhasil, tak jarang pula meleset dari perkiraan. Belajar dari kegagalan di hari-hari pertama merawatmu, ibu menyadari bahwa perasaan gagal hanyalah penghambat untuk maju.
Ibu bukan manusia super yang dapat melakukan semua pekerjaan. Ibu juga butuh dukungan dari keluarga dan lingkungan untuk menjalankan peran ini. Ibu bukanlah manusia sempurna yang selalu bisa melakukan sesuatu dengan baik. Ibu pernah jatuh namun dari situlah ibu belajar bangkit menjadi lebih baik. Perjalanan masih panjang. Semoga kita saling menjaga dan selalu dalam lindungan Tuhan. The perfect mom doesn’t exist (and it’s okay). (vem/nda)