Ketika seorang wanita akhirnya memiliki anak untuk pertama kalinya, ada banyak perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Termasuk dalam perubahan suasana hati. Seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale ini untuk mengikuti Lomba Bangga Menjadi Ibu. Ia menceritakan pengalamannya yang merasa seperti tak mencintai bayinya yang baru saja ia lahirkan.
***
Aku memandang sesosok tubuh mungil berselimut yang sedang tidur itu dengan diam. Tanpa rasa. Tanpa ingin menyentuhnya. Bayi perempuan yang mungil dan cantik itu anakku. Ya, dia anakku. Aku sudah punya anak sekarang. Benar-benar anak yang kulahirkan dari rahimku 4 hari yang lalu. Tapi kenapa aku merasa asing ya? Suatu perasaan aneh yang tidak jelas.
Advertisement
Kupandangi terus raut mukanya yang damai sambil tetap bertanya-tanya dalam hati. Kenapa aku tidak seperti ibu-ibu yang lain, yang tampak begitu amat menyayangi anaknya? Kenapa rasa itu tidak ada padaku? Bahkan merasa gemas karena melihatnya pun tidak ada padaku. Aku merasa biasa saja, amat biasa.
Ketika tengah malam suara tangisnya membangunkanku, aku pun tidak tergesa mengambilnya dari box bayi. Malah Ibuku yang tiba-tiba sudah muncul di pintu kamarku dan segera memeriksanya. Sejak pulang dari rumah sakit, memang hampir semuanya Ibuku yang mengurus.
“Kenapa?” tanya Ibuku. Aku menggeleng.
“Oh, pupdia,” kata Ibuku sambil menyiapkan popok kain yang baru. Ibuku belum mengizinkan aku memakaikan diapers karena masih umur beberapa hari. Katanya, biar pakai popok kain aja dulu, biar Ibu yang mencuci. Dan memang setiap subuh, Ibuku selalu mengambil tumpukan selimut dan popok kotor dari kamarku. Malah seolah berlomba dengan Nenekku. Mereka berdua cepet-cepetan mengambil kain kotor itu.
Ibuku juga yang setiap pagi dan sore memandikan bayiku, karena aku belum berani. Aku hanya membantunya menyiapkan semua perlengkapan mandi dan baju ganti.
Seperti ibu-ibu yang lain, aku memang menggendong bayiku ketika selesai dimandikan ataupun ketika ada tamu yang menjenguk, memberinya ASI setiap beberapa jam sekali sesuai petunjuk dokter, dan lain-lain. Tapi itu semua kulakukan tanpa rasa. Aku hanya seperti robot, dan menggendong bayiku seolah pencitraan aja. Masak anaknya dicuekin? Aku nggak mau ada anggapan begitu.
Ketika tiap malam bayiku pupbeberapa kali dan mencret terus. Aku mulai agak panik. Apalagi tiap hari suamiku menelepon menanyakan kondisi anaknya, aku jadi takut terjadi apa-apa pada bayi ini. (Aku pulang ke rumah Ibu di Surabaya ketika akan melahirkan, sedangkan suami tetap di Jakarta)
Kubawa bayiku ke dokter spesialis anak, kutanyakan kenapa tiap malam mencret beberapa kali? Jawaban dokter sungguh mengejutkan, “Sepertinya bayi Ibu alergi ASI.” Hah? Bayiku alergi pada ASI-ku sendiri? Apakah dia merasa kalau aku menganggapnya asing? Aduh, bagaimana ini?
“Apa Ibu minum jamu? Sebaiknya jamunya untuk sementara di-stop dulu, Bu. Dan ASI tetap dilanjutkan karena ASI adalah asupan terbaik buat bayi Ibu," kata Pak Dokter.
Aku berhenti minum jamu, tetapi bayiku masih tetap mencret, dan ASI tetap kulanjutkan. Hanya itu yang dapat menghubungkan aku dengan bayiku. Tidak terasa, hari berganti minggu. Tiba-tiba, entah mulai kapan, rasa itupun mulai tumbuh di hatiku. Aku tiba-tiba seperti induk ayam pada anaknya. Bayi ini anakku. Hidung mungilnya, mata sipitnya, pipi ranumnya, bibir merahnya, jemari lentiknya, semua milikku. Bayi ini adalah bagian hidupku, aku akan mempertaruhkan apapun demi dia. Tidak kubiarkan seekor nyamuk pun mendekatinya.
Aku pun tidak pernah keduluan Ibuku lagi kalau tengah malam tiba-tiba bayiku menangis. Aku pasti sudah mendekapnya dalam pelukku ketika Ibu datang ke kamarku.
Satu hari, kubaca sebuah artikel tentang ibu baru di majalah. Tentang suatu kondisi ketika tiba-tiba seorang ibu yang baru saja melahirkan diserang gundah gulana, sering marah tanpa sebab, sering menangis sendiri, dan lain-lain yang intinya tidak sesuai dengan biasanya.
Kata artikel itu, perasaan seperti ini dialami oleh sekitar 50-80 persen wanita setelah melahirkan. Tidak berbahaya dan setelah dua minggu semua akan kembali normal. Kondisi ini dinamakan *Baby Blues Syndrome (Postpartum Distress Syndrome). Kalau ternyata lebih dari dua minggu belum juga normal, berarti agak parah dan harus berkonsultasi dengan dokter, namanya Postpartum Depression.
Alhamdulillah, belum dua minggu aku sudah berhasil memeluk bayiku dengan penuh cinta. Rupanya aku sempat terkena Baby Blues Syndrome yang membuatku merasa asing dengan bayiku sendiri, dan bersyukur sekali semua itu sudah berlalu. Alhamdulillah. Sekali lagi, Alhamdulillah. Baby Blues Syndrome, sayang sekali kau tidak berhasil menjadikanku monster untuk anakku sendiri. Aku berhasil mengalahkanmu. Hiyaaa!
Anakku adalah kecintaanku, kebanggaanku sebagai wanita dan seorang istri yang dapat mempersembahkan buah hati kepada suaminya. Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan bayi cantikku? Kupeluk erat bayiku dalam dada. I love her so much, muach muach muach.
Malang, 7 Desember 2016
*suatu hal yang selama ini tidak pernah kuceritakan pada siapapun, hingga pada saat ini.
- Menikah dan Menjadi Ibu, Aku Wanita Paling Bahagia di Dunia Ini
- Gadis Cilik Bantu Ibunya Menyapu Jalan, Potretnya Bikin Trenyuh
- Bu, Jangan Mengamen Lagi! Doakan Saja Nova Jadi Desainer Muslimah
- Pria Bersujud di Depan Orang Tua dan Kisah Haru di Baliknya
- Bakti Anak Luar Biasa, Selama 9 Tahun Rawat Orang Tua Tuna Netra