Semakin hari, semakin banyak kasus pemerkosaan terjadi. Bahkan lebih parahnya, pemerkosaan yang dilakukan beramai-ramai (gang rape). Sebagai wanita, kita tentu geram dan marah dengan tindak kriminal tersebut. Pemerkosaan tidak hanya berhubungan dengan pemaksaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan organ intim pria dan wanita. Lebih dari itu, pemerkosaan pada akhirnya merampas harga diri korban, menghancurkan mental, bahkan tak jarang membuat sang korban depresi karena tekanan masyarakat yang justru sering menyalahkan pihak wanita, meskipun dia adalah korban.
Pemerkosaan yang dilakukan beramai-ramai menjadi tanda tanya besar, mengapa kasus ini semakin sering terjadi? Yang menyedihkan, kasus ini banyak terjadi di kalangan remaja dengan korban yang juga masih remaja bahkan anak-anak. Vemale berkesempatan membahas kasus ini dengan seorang psikolog.
Elizabeth Santosa, psikolog yang juga Komisioner Komnas Anak, Jakarta, mencoba menjelaskan dari tinjauan ilmu psikologi sosial dan remaja. Gang rape adalah bentuk kejahatan seksual terhadap satu korban di mana pelakunya berjumlah lebih dari satu atau banyak orang. Umumnya para pelaku melakukan kejahatan seksual secara bergilir dan saling mengamati bagaimana pelaku lain sedang melakukan aksi bejatnya.
Advertisement
Perilaku di mana pelaku saling mengamati dan melakukan kejahatan seksual terhadap satu korban dan tidak ada yang berniat menolong korban disebut sebagai “bystander effect” (apatis). Sedangkan adanya suatu kesan bahwa jika salah satu atau lebih pelaku merasa tidak bersalah melakukan kejahatan seksual, maka perbuatan keji tersebut bukanlah hal yang buruk, fenomena ini disebut “ketidakpedulian pluralis”.
Ditinjau dari segi psikologi sosial, pelaku gang rape memiliki suatu mentalitas yang disebut “mentalitas mafia” di mana suatu kelompok melakukan suatu perilaku kejahatan bersama-sama tanpa berpikir jernih.
Seorang ahli sosiologi dan mentalitas publik, Ellaine Replogle (2005), menjelaskan mengapa gang rape terjadi sangat sering dikarenakan manusia cenderung melakukan suatu kejahatan jika dirinya merasa bisa lolos dari hukuman. Oleh sebab itu dengan jumlah pelaku yang besar maka ada pemikiran bahwa kemungkinan statistik tidak tertangkap.
Mengapa para pelaku dapat kompak untuk melakukan pemerkosaan secara bersama-sama dan tidak ada yang berubah dan ingin menolong korban?
Pertama, kurangnya rasa empati dalam suatu kelompok atau komunitas umumnya disebabkan karena adanya pembiaran terhadap perilaku negatif.
Contohnya tindakan bully verbal dianggap sesuatu yang lucu pada salah satu program televisi. Contoh lainnya yaitu terjadinya suatu budaya ‘maklum’ saat melihat wanita berparas sexy dan berbaju ketat untuk diberi respon cemooh atau siulan ringan. Dua contoh yang disebutkan merupakan bentuk perilaku pelecehan terhadap hak hidup. Diperlukan pendidikan moral dan rasa saling menghargai di dalam interaksi sosial di lingkungan sekolah, rumah dan tempat kerja.
Kedua, kesalahan yang dilimpahkan pada pihak korban. Contohnya jika pemerkosaan terjadi, pihak korban disalahkan karena cara berpakaiannya atau karena perilakunya yang dianggap menggoda dan memancing pelaku untuk berbuat kejahatan.
Sedangkan sosiolog, Beth Quinn dari University of Colorado, menekankan bahwa pelaku gang rape pria menganggap wanita sebagai warga kelas dua dan bukan dipicu karena ketertarikan seksual terhadap korban. Dengan kata lain, Gang Rape didefinisikan sebagai kebutuhan pelaku pria untuk memperlihatkan maskulinitas dan kebutuhan untuk mendominasi korban (cult of masculinity).
Kebutuhan naluriah ini dimiliki oleh oleh komunitas masyarakat yang tidak memandang kesetaraan gender. Dengan kata lain, perspektif suatu masyarakat yang menomorduakan kaum wanita sangat rentan menjadi sosok pelaku gang rape.
Mengapa fenomena gang rape terus terjadi dan meningkat? Fenomena gang rape terhadap korban wanita dan anak terus berpeluang terjadi jika aparat dan hukum tidak menindak tegas para pelaku dengan hukuman yang berat. Hukuman ringan terhadap pelaku dapat memberikan pesan tidak langsung kepada masyarakat bahwa kejahatan seksual tidak dianggap terlalu buruk. Akibatnya, tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual yang berkeliaran diluar sana.
Mengapa pelaku geng rape beberapa di antaranya adalah usia anak di bawah umur 18 tahun? Seperti yang sudah diketahui oleh awam, remaja sangat rentan terhadap pengaruh perilaku negatif seperti adiksi narkoba, seks bebas, perilaku kriminal, dan jenis kenakalan remaja lainnya (juvenile deliquency). Terjadi transisi hormonal yang memengaruhi cara berpikir remaja.
Menurut teori Jean Piaget, remaja dapat berpikir abstrak namun perkembangan kognitif terhadap sistem moral belum berkembang sempurna sehingga mereka mudah terjerumus perilaku negatif tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum di masa depan.
Oleh: Elizabeth Santosa, psikolog yang juga Komisioner Komnas Anak, Jakarta.
(vem/zzu/yel)