Seorang ayah akan mencurahkan semua kasih sayangnya untuk putri kesayangannya. Tak heran ketika putrinya itu kemudian menikah, ada kesedihan yang akan ia rasa. Sang putri pun pasti bisa merasakan kesedihan itu, seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale untuk Lomba Menulis Spesial Hari Ayah ini.
***
Advertisement
Pa, pertama kalinya aku menemukan pendar murung dan sedih di mata Papa adalah sore itu. Ketika Papa berdiri di depan pintu menyambut kepulanganku, diikuti seorang lelaki muda yang beberapa minggu kemudian datang kembali untuk memintaku dari sisimu.
Pa, di balik senyum bijakmu aku menemukan matamu berkaca-kaca seolah terluka. Anggukanmu kala itu di hadapannya, membuat lelaki muda itu tersenyum gembira. Lalu, kutemukan tatapan Papa menggambarkan rindu yang begitu dalam pada masa lalu kita, ketika Papa beralih menatapku.
Apa Papa rindu saat Papa pulang bekerja dulu? Aku pun rindu, Pa. Rindu mengulurkan tanganku dan begitu gembira saat berada di gendonganmu. Apa Papa ingat bagaimana aku nggak bisa menghitung tujuh pangkat dua? Begitu ingatmya hingga beberapa malam ini, aku berharap waktu berjalan mundur sebentar saja agar aku bisa duduk di sampingmu dan mengulang mata pelajaran matematika itu kembali.
Papa khawatir sekarang aku sudah jarang mengaji lagi? Ya Pa, tiap kali kudapati pesanmu agar aku nggak lupa beribadah di antara rentetan jadwal pekerjaanku yang padat, wajahmu yang khusyuk mendengarkan aku terbata-bata mengeja huruf hijaiyah saat dululah yang terbayang.
Papa, dua puluhan tahun antara aku dan Papa telah menghasilkan kisah cinta yang berharga.
Beberapa minggu lagi Pa, tanggung jawab diriku akan berpindah dari Papa ke si lelaki muda. Papa begitu semangat mengurusi banyak hal, mulai dari kelengkapan surat-surat, hingga hal hal kecil lainnya.
Aku begitu tahu, Papa ingin gadis kesayanganmu ini tampil sangat cantik di hari itu, seperti tuan putri pemberani nan anggun yang selalu Papa dongengkan sedari dulu. Aku sadar Papa menyimpan rasa sedih itu diam-diam agar aku nggak tahu. Papa jadi senang mendengarkan rekaman-rekaman suara nyanyianku di ponselmu. Seperti yang Mama tuturkan, Papa persis lelaki patah hati, hampir setahun ini.
Maafkan aku, Pa. Maafkan putri kecilmu yang kini sudah tahu namanya jatuh cinta, lalu berkata seolah si lelaki muda adalah cintaku yang pertama. Tapi nggak Pa. Bagaimanapun juga, cinta pertamaku tetaplah Papa. Kesatria superku tetaplah Papa. Lelaki yang terus menerus mendukung dan mendorong aku untuk menjadi berani menantang diriku untuk impian-impianku adalah Papa.
Pak Prof-ku satu-satunya adalah Papa. Aku mencintai Papa begitu dalam, sedalam Papa menyayangi aku. Sebab Tuhan telah membawaku ke dunia ini, untuk pertama kali mendengar lantunan kalimat illahi dari dirimu, pertama kali menikmati kecupan di kening dari dirimu, pertama kali dipeluk penuh sayang oleh seorang lelaki, yaitu dirimu, Pa.
Terima kasih Pak Prof, telah menjadi Papa untuk aku. Telah menjadi lelaki cinta pertamaku. Telah menjadi seseorang yang selalu aku rindu, di saat aku merasa jatuh dan sakit hati pada dunia ini. Dengan nama Tuhan kita, aku mencintaimu selamanya.
Dengan penuh bakti,
Putrimu
(vem/nda)