Ayah selalu punya caranya sendiri untuk mengungkapkan cinta. Ia bisa mengungkapkan cinta dari setiap pengorbanan dan caranya sendiri yang begitu sederhana, seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale untuk Lomba Menulis Spesial Hari Ayah ini.
***
November, saat di mana rintik-rintik mulai rajin mengetuk jendela untuk sekadar menyapa atau menawarkan nostalgia. Hari-hari terus kulalui, berharap November segera berganti, agar aku bisa segera menemui sosok-sosok yang kurindukan lagi. Dan tentu saja, Ayahku adalah salah satu dari sosok-sosok itu.
Advertisement
Ayah sosok yang tak banyak bicara sehingga apa yang dipikirkannya sulit untuk diterka. Tetapi bukan berarti dia orang yang dingin. Saat aku dan kakakku masih kecil, kami selalu menunggu terdengarnya suara vespa Ayah dengan gembira karena sepulang kerja, Ayah selalu membelikan kami cokelat atau cemilan lainnya. Dan meski itu hal yang sangat sederhana, kami bahagia.
Terkadang memang keping kenangan yang kecil tetapi berarti seperti itulah yang akan selalu menghangatkan hati, bukan? Lalu, setiap pagi sebelum berangkat kerja Ayah rutin membuatkan teh untuk kami sekeluarga. Bahkan meski teh buatannya sering sekali terpaksa menganggur di teko atau dituang ke gelas besar dan dimasukkan ke kulkas karena tak ada yang sempat menyesapnya—saking terburu-burunya kami untuk bersiap-siap beraktivitas, Ayah tetap rutin membuat teh setiap pagi. Sebuah ekspresi cinta yang, lagi-lagi—sederhana, tetapi tetap tidak menciutkan maknanya.
Setiap Minggu, Ayah bukannya beristirahat karena telah lelah bekerja dari Senin sampai Sabtu. Beliau akan bangun pagi-pagi, menghidupkan becak dan pergi untuk mencari tambahan rezeki, bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk kami keluarganya. Lalu seperti hari-hari kemarin, sorenya Ayah akan pulang dengan makanan-makanan yang anak-anaknya inginkan, atau hadiah-hadiah kecil. Dan masih banyak jutaan ekspresi cinta Ayah yang tak akan bisa habis kujabarkan.
Memang, tak bisa kupungkiri bahwa terkadang aku merasa kesal pada sosok hebat itu. Terkadang aku merasa terganggu pada hal-hal kecil seperti saat beliau sibuk menyuruhku minum saat sedang bermain game atau membaca buku—agar aku tidak dehidrasi. Atau saat beliau memberiku banyak nasihat-nasihat berharga. Memang aku yang bebal, karena bukannya menghargai, malah memperlakukan bunyi penuh makna itu tak lebih seperti bunyi-bunyi yang muncul dari radio rusak.
Tapi aku menyayangi sosok itu dan akan terus menyayanginya, sama seperti ia yang pasti akan terus menyayangiku tak peduli apa pun yang terjadi. Meski nanti aku telah memiliki suami sebagai sosok laki-laki lain yang tak kalah berarti, Ayah akan selalu ada di hati, tak akan terganti.
Saat November berakhir dan hari yang kunanti tiba, ingin segera aku pulang ke rumah agar bisa kuungkapkan sayangku pada sosok itu, meski bukan melalui kata. Dan, untuk kalian yang ada di sana, yang masih memiliki kesempatan, lakukanlah hal yang sama selagi masih bisa. Ingat bahwa kehidupan ini adalah suatu hal yang fana.
Ayah. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa membuatnya bangga dan bahagia. Aku ingin membalas semua ketulusannya—satu hal yang mungkin tak akan pernah bisa kulakukan. Tetapi, aku tetap ingin mencoba.
Ayah. Ayahku memang sosok yang tak banyak bicara. Tetapi pada setiap senyum teduh dan pengorbanan tanpa suaranya, aku tahu—cinta sejati ada di sana.
Ayah. Ayah, aku rindu!
Medan, 13 November 2016
- Jauza
(vem/nda)