Kita baru benar-benar merasakan betapa berharganya sosok seorang ayah saat ia sudah meninggalkan kita. Sekaipun selama ini kita sering merasa hidup ini tak adil karena kita tak memiliki ayah yang sempurna, bagaimana pun ayah tetaplah orang yang penting dalam hidup kita. Penyesalan pun selalu datang terlambat, seperti kisah Sahabat Vemale untuk Lomba Menulis Spesial Hari Ayah ini.
***
Pak, dinginkah? Sepikah? Aku ingin menjemputnya jikalau aku bisa. Tapi aku percaya Tuhan telah menempatkanmu di surga yang paling indah.
Advertisement
Tanggal 28 November 2015, tepatnya pukul 02.30 sabtu dini hari. Hari yang tak akan pernah aku lupa sampai kapanpun. Hari yang membuatku merasa bersalah, hari yang membuat semuanya menjadi tak terkendali.
Hari itu sebenarnya aku berada di tempat yang berbeda. Aku keluar dari rumah untuk kost dekat dengan tempatku kuliah. Namun, itu semua hanya sebuah alasan yang memaksaku keluar dari rumah karena tidak tahan dengan keadaan rumah yang kacau. Penuh dengan pertengkaran karena berbagai faktor mulai dari pertengkaran yang tiada habisnya.
Belum lagi dengan kondisi bapak sakit yang menghabiskan banyak biaya dan membuat Mamah banting tulang siang malam untuk menutupi semua hutangnya. Aku pun membantu Mamah dengan bekerja paruh waktu di suatu restoran cepat saji dan memberikan hasil uang part timeuntuk membeli obat Bapak.
Namun tepat pada sabtu dini hari handphone berdering tanpa henti. Mamah menangis tak hentinya sehingga tak sanggup berkata-kata. Aku bilang, "Perlahan Mah, tenang, ada apa?” Lalu dengan nada yang sesak Mamah berkata, “Ka, cepet pulang sekarang. Bapak udah pulang ke sisi Allah." Aku terdiam tak percaya.
Aku langsung berlari dari kamar tidur dan mengeluarkan sepeda motor, tanpa tersadar aku pergi tanpa alas kaki dan jaket. Namun aku tak merasa apapun, tak merasa dingin. Yang kurasa hanyalah sesak tak karuan, tangan gemetar, dan menangis sepanjang jalan dengan hanya mengucap maaf yang tak berhenti aku katakan.
Ketika sampai rumah aku berlari dan memeluk Bapak yang sudah tertidur kaku tanpa napas hangatnya. Aku tak bisa menerima hari itu. Aku marah. Aku menangis tanpa henti, memeluk erat tubuh kurus dingin yang dibalut kain kafan. Aku meronta dan menyalahkan diri karena aku tak bisa menemani kepergiannya. Aku anak durhaka yang lari dari masalah yang seharusnya aku hadapi tanpa meninggalkan semua beban di pundak ibu paruh baya untuk memikul semuanya.
Bapak, Tia sungguh rindu. Sungguh ingin menangis, memeluk, dan menceritakan semuanya pak. Aku ingin menceritakan semua nya Pak, seolah semua terlihat baik-baik saja. Namun, nyatanya aku sekarang menjadi anak perempuan yang rapuh, tak percaya diri, tersenyum palsu padahal hati anakmu ini selalu menangis menahan semuanya sendiri.
Aku menjadi anak yang tak mempercayai siapapun, pura-pura kuat dan mampu mengatasi semua masalah. Namun apa daya pada akhirnya setiap malam datang, aku menangis tanpa suara yang membuat napasku sesak dan membuat badanku lelah menahan semua masalah. Aku rindu bagaimana Bapak memarahi aku. Aku rindu bagaimana Bapak memegang pundakku dengan tangan hangatnya. Dan aku rindu dengan tawa Bapak dan suasana di saat kita menghabiskan malam dengan menonton acara yang kita tunggu.
Dalam setiap sujudku tak pernah lupa aku mendoakanmu dengan setulus dan semampuku meminta kepada-NYA. Sungguh di hati yang paling dalam aku ingin sekali merasakan kehidupan keluarga yang normal. Memiliki keluarga yang lengkap, hidup penuh dengan senyuman, dipeluk dengan begitu hangatnya dan selalu dipuji atas semua yang aku lakukan. Namun, itu semua hanya angan semu yang tak akan pernah aku dapatkan walaupun aku memohon. Karena aku tahu Tuhan memberikan berbagai macam keindahan hidup di keluarga yang berbeda.
Bapak, kau sudah hampir satu tahun meninggalkan keluarga kecilmu. Aku janji akan menjadi anak yang sukses, menjadi panutan bagi keluarga, menjadi tumpuan keluarga, dan menjadi kakak sekaligus anak yang baik bagi semua orang yang menyayangiku. Suatu hari aku akan mewujudkan impianku menjadi seorang reporter terkenal dan menunjukkan pada Bapak aku sudah menjawab keraguan Bapak pada jalan yang aku pilih.
Aku bangga menjadi anakmu, aku bersyukur dilahirkan dari keluarga yang mengajarkanku banyak arti dari sebuah kehidupan yang keras. Aku akan menjadi anak yang tahu budi, tahan banting, dan pantang menyerah pada tujuan dan impianku. Aku akan menjadi anak yang besar dan membuatmu tersenyum di surga. Aku akan mensyukuri segala hal yang membuatku kuat. J
Jadi tetaplah menjadi ayah nomor satu yang selalu memperhatikan dan mendoakan anakmu ini walaupun dari alam yang berbeda. Selamat jalan Bapak. Sebesar keinginanku itulah sebesar aku rindu padamu. Takkan ada orang lain yang menggantikan posisimu, menggantikan nasihatmu, keras kepalamu, didikanmu, dan walaupun aku dilahirkan dari hasil uang judi tapi aku tak akan menjalani hidup sehina dan serendah hasil uang itu.
Aku akan menjadi anak yang cerah dan berjuang demi orang-orang yang aku sayang. Sebanyak dzikir yang aku panjatkan, sebesar itulah rindu yang aku rasakan. Doakan anakmu ini dan sejauh apapun jarak kita, aku selalu merasakan kehadiranmu dekat dengan hati dan jiwaku sampai kapanpun.
- Kala Ayah Berperan Menjadi Kuda Laut Dalam Rumah Tangga
- Aku Abadikan Potret Anakku Melawan Kanker, Ini Kisah Sebenarnya
- Bapak, Semalam Aku Bermimpi Kita Kembali ke Rumah Kecil Itu
- Hal yang Akan Kamu Rindukan Saat Tidak Lagi Bisa Memeluk Ayah
- Bocah Ini Sengaja Jadi Gendut, Kisahnya Menyentuh Hati
(vem/nda)