Seorang mahasiswa datang dengan tujuan mengumpulkan data untuk tugas akhirnya. Ia berniat menggali pengalaman dan kiat-kiat seorang duda beranak dalam menghadapi tantangan besar merawat, mengasuh dan membesarkan anaknya seorang diri tanpa adanya pasangan.
Sebuah kata unik terkesan menggelitik di sebutkan dalam tema dan berada di depan judul skripsi sebagai awalan. Resiliensi, demikian kata serapan dari Bahasa Inggris, 'resilience'. Resiliensi, dalam salah satu uraiannya berbunyi:
"Resiliensi adalah kualitas yang tak terbayangkan pada diri orang - orang yang mengalami pukulan telak dalam hidup. Namun mereka bisa bangkit kembali dan justru lebih kuat. Alih - alih membiarkan kegagalan membayangi, mereka justru mampu menemukan jalan untuk ' hidup' kembali dari sisa - sisa kelamnya masa lalu."
"Kenapa Anda memilih responden dari golongan duda beranak? Bukannya janda beranak yang lebih banyak jumlahnya?" tanya saya. Mendengar pertanyaan saya, alis matanya terangkat sebelah, mata agak terpicing bak gaya si kembar Thomson and Thompson dalam serial Tintin saat menjalankan investigasinya. Pertanyaan memancing keluarnya niat dan alasan sebenarnya si calon psikolog yang diharapkan juga seserius judul skripsinya. "Saya ingin beda dari yang lainnya. Sepertinya duda yang mau mengasuh anak - anaknya sendirian dalam kurun waktu lama, jumlahnya sangatlah jarang dan langka keberadaannya. Dan mungkin karena saya juga seorang laki - laki."
Alasan yang cukup serius. Setidaknya 'ingin berbeda' adalah modal awal seseorang untuk berusaha lebih keras dari yang lainnya. Alasan berikutnya, empati sesama laki - laki bisa jadi akan memberikan suatu pijakan kuat untuk sebuah bahasan yang menyeluruh. "Apa yang membuat Bapak begitu kuat dan bisa mencapai tahapan resiliensi saat ini, Pak?" tanyanya. "Menulis," jawab saya singkat.
Si mahasiswa mulutnya setengah terbuka mendengar jawaban itu. Ya, karena menulis lah, saya mampu menanggulangi dampak tekanan dariĀ permasalahan yang datang bahkan sejak hari pertama perceraian. Badai berikutnya datang, menjadi seorang duda yang harus mengasuh anak - anaknya, pun dapat diredam dengan hobi menulis saya. "Menulis adalah terapi paling manjur. Setidaknya untuk beberapa contoh dalam beberapa kasus yang saya tahu. Bagi seorang duda atau janda, beranak atau tidak, dalam menjalani kesendiriannya setelah ketiadaan pasangannya, menulis menjadi obat mujarab. J.K Rowling pencipta Harry Potter, misalnya. Bahkan Habibi pun melakukan hal yang sama saat Ainun wafat."
Menulis membuat seseorang terpaksa harus membaca. Membaca apapun, dari koran, majalah, novel, bungkus mie instant, membaca perubahan sikap dan sifat anak - anak dalam keseharian, membaca jadwal pembagian antara kerja dan mengasuh anak, membaca orang - orang, alam dan lingkungan di sekitar. Yang lebih penting lagi adalah membaca kelebihan dan kekurangan diri sendiri, menyelami semua permasalahan hidup dari berbagai cara baca dan sudut pandang. Setidaknya, menulis juga membuat orang bisa bertemu dengan orang - orang baru atau lainnya. "Bukankah Anda bisa bertemu dengan saya karena tuntutan menulis skripsi tentang 'resiliensi' ini," tanya saya padanya.
Si mahasiswa tersenyum. Seolah sudah terjawab semua pertanyaan yang tercetak di lembaran kuisionernya yang bahkan belum dikeluarkan dari tas. Diskusi malam tadi akhirnya dilanjutkan dengan membagi cerita tentang berbagai kisah nyata tentang para laki - laki, duda ataupun bukan, yang harus membesarkan anaknya sendirian. Niscaya untuk dijadikan contoh bahwa laki - lakipun memiliki resiliensi dalam menghadapi tantangan hidup bersama anak - anaknya, sendiri tanpa perempuan sebagi pasangan hidup.
"Sepulang dari sini bacalah tentang Kuda Laut ya?"
Si mahasiswa yang sudah pamit kembali melongo terbuka mulutnya demi mendengar permintaan yang dilontarkan dengan setengah bercanda. Namun dia tetap mengangguk mengiyakannya. Dan semoga dia menemukan artikel yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan kuda laut, yang jantanlah yang menetaskan telur betinanya yang 'dititipkan' di dalam kantung yang dimilikinya. Si jantan menjaga telur - telur hingga menetas, bahkan kemudian mengasuh anak - anaknya hingga mampu berenang menjelajahi belantara terumbu karang di kedalaman laut sana.
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
Advertisement