"Mas, pinjami aku uang untuk pergi ke Banten. Aku ingin menemui 'orang pintar' yang katanya bisa membantu aku memperoleh kembali anakku dari mantan suamiku."
Seorang kenalan, perempuan belia, janda satu anak yang tinggal tak jauh dari rumah, malam tadi datang dengan 'kusut masai'. Penampilannya yang berantakan menandakan kekisruhan hati yang sedang dialami. Sejak perceraiannya dengan suaminya, anaknya yang masih bayi memang 'terpaksa' diserahkan kepada mantan suaminya dengan berbagai pertimbangan. Menurut janji tertulis yang ditandatangani bersama, si perempuan diperbolehkan sesekali waktu menemui anaknya. 'Serah terima' hak asuh anak ini telah disepakati kedua belah pihak dengan pemahaman atas resiko dan konsekuensinya masing - masing.
Namun dalam perjalanan waktu selanjutnya, jangankan bisa menengok anaknya, tahu dimana dan sedang apa bayi mungilnya saja, si perempuan ini tak lagi bisa memperoleh kesempatannya. Apalagi setelah mantan suaminya menikah lagi. Semakin susah si perempuan untuk menemui si buah hati. Upaya bernegosiasi, meminta ijin bahkan memohon untuk bertemu anaknya sesekali, semakin tak digubris sama sekali.
Advertisement
Saat semua jalan terasa tertutup, manusia cenderung melakukan tindakan yang di luar batas nalarnya. Tak terkecuali bagi seorang ibu. Ibu yang konon menyumbang 75% bagian dari jiwa dan raga anak - anaknya, memiliki ikatan batin dan emosional yang jauh kuat melebihi ikatan atau hubungan lain antar manusia yang pernah ada. Lalu pergi ke 'orang pintar' adalah salah satu jalan alternatif yang dipilih untuk dilalui.
'Orang pintar'? Sepintar itukah hingga diyakini bisa membawa anaknya ke pelukan dirinya kembali? Sepintar itukah hingga dirasa bisa melunakkan hati orang - orang yang menolak mempertemukan ibu dan anaknya kembali, walau cuma seminggu sekali? Sepintar itukah, hingga nantinya dari Banten sana si orang pintar mampu menggerakkan gelombang metafisika hingga ke Jogja? Ah, namanya juga orang yang sedang lupa pada batas nalar dan logikanya, karena nurani yang tak terpenuhi keinginannya menjerit - jerit tak terkendali. Tanya yang hanya menimbulkan silang pendapat tak bermanfaat.
"Mbak, saya 9 tahun di Banten. Belum pernah mendengar ada 'orang pintar' yang bisa mengalahkan dan menaklukkan hati manusia dari jarak jauh. Apalagi hati seorang bapak yang saat ini sedang merasa 'bertugas' melindungi anaknya. Melindungi anaknya dari ibunya sekalipun. Satu - satunya 'orang pintar' yang bisa membantu masalah Anda sebenarnya Anda sendiri. Setahu saya 'orang pintar' adalah orang yang tahu dan memahami kekuatan dan kelemahan, kebenaran dan kesalahan pada diri sendiri. Lihatlah dan koreksi diri Anda sendiri terlebih dulu, sebelum menunjukkan pada mereka kenapa Anda layak mendapatkan hak bertemu. Saya yakin, kondisi saat ini, untuk siapapun, dan apapun itu adalah yang terbaik yang diberikan Tuhan."
Si perempuan muda pamit dengan masih dalam 'kusut masai' nya, dengan air mata berleleran dari matanya, meleleh bersama maskara tebal hingga menganak-sungai hitam di pipinya. Rambut berwarna serabut jagung bikinan salon ternama, acak - acakan dalam setiap garukan kepala yang dilakukannya. Dia pulang, melangkah gontai dengan rok pendek di atas lutut setengah paha, dengan sepatu hak tinggi berkilau karya desainer ternama. Masuk ke mobil putihnya dan tancap gas entah kemana. Kok jadi semakin yakin bahwa saat ini adalah kondisi terbaik baginya dan terutama bagi anak bayinya yang telah secara sempurna direkayasa oleh Tuhan.
Akhirnya, 'ibu' mungkin saja pernah menjadi kata terfavorit pilihan sebagian besar orang di antara pilihan lainnya. Namun saat ini, setelah melihat salah satunya, 'ibu' mungkin saja bisa menjadi pilihan kesekian bagi segelintir manusia yang meyakini bahwa yang terbaik adalah justru tanpa mengucapkan dan memanggil namanya atau bahkan tanpa kehadirannya.
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
(vem/wnd)