"Pak, Bapak sehat?" tanya ahli anestesi yang duduk di samping seorang suami yang memberanikan diri mendampingi isterinya melahirkan di ruang persalinan di sebuah rumah sakit. "I ... I ... Iya, saya nggak apa - apa, Dok" jawabnya terbata - bata.
Keringat sebesar biji jagung nampak di sebagian dahinya yang terlihat pucat di antara masker dan tutup kepala berwarna hijau muda yang harus dikenakannya. Padahal ruang persalinan begitu dingin oleh AC yang selalu dibiarkan menyala sepanjang hari.
"Sudahlah Pak, Bapak duduk saja kalau nggak tega menyaksikannya". Sambil memberi saran, si ahli anestesi menunjukkan kursi di sudut ruangan. Tega? Siapa sih yang tega melihat perut dan rahim istri disobek untuk melahirkan 'sesosok makhluk hidup' yang sembilan bulan lebih bersemayam di dalamnya?
Advertisement
Tak lama usailah sudah operasi caesar yang berjalan lancar. Terima kasih pada kecanggihan peralatan kedokteran dan semakin mahirnya para ahli medis di jaman sekarang. Si Bapak bisa bernapas dengan lega, berucap syukur dan bergembira atas hadirnya anak pertamanya di dunia. Dipeluknya bayi mungil yang telah dibersihkan dari bercak air ketuban dan percikan darah, lalu dengan lembut dilantunkannya kalimat - kalimat adzan di telinga anaknya.
Tak terasa air mata menetes perlahan, air mata haru bercampur bahagia demi mengingat perjalanan hidup yang telah mengantarkannya pada hari itu. Hari saat dia menjadi seorang ayah, orang tua dari seorang bayi laki - laki yang baru saja dilahirkan ke dunia. Dan keharuan semakin terasa, saat mengingat mendiang ibu dan bapaknya yang tak berkesempatan menyaksikannya menjadi seorang bapak.
Terngiang lah kembali cerita yang pernah disampaikan mendiang ibunya tentang proses kelahiran dirinya waktu itu. Di kala itu, di saat jumlah dokter kandungan mungkin hanya ada tujuh di setiap kota. Saat operasi caesar bukanlah pilihan utama dan obat bius mahal harganya serta hanya digunakan untuk kasus - kasus tertentu saja. Cerita yang sebelumnya dianggapnya hanya sebuah nostalgia seorang lansia.
"3 hari 3 malam, aku bersusah payah melahirkanmu. Dokter sudah menyerah karena kamu terlilit tali pusarmu sendiri. Hanya doa dan mukjizat yang membuatmu lahir selamat di dunia tanpa harus membuatku kehilangan nyawa juga."
Perjuangan perempuan saat melahirkan memang selalu diiringi dengan tawa dan tawa. Ya, tawa. Taruhan nyawa, dan juga tawa yang sebenarnya saat mendapati bayinya terlahir selamat tanpa dia harus kehilangan nyawa.
Melahirkan secara alami, dengan operasi, dibantu dokter atau dukun, bidan atau bahkan sendirian, dulu, sekarang dan nantipun, melahirkan akan selalu menjadi bagian dari kodrat perempuan dalam mempertaruhkan seluruh atau sebagian nyawanya. Sebagian nyawa yang turut keluar dari raga, bersama bayi mungil yang nantinya akan menjadi manusia dewasa seperti dirinya. Sebagian nyawa yang akan terus hidup dan diturunkan dari generasi ke generasi, sekalipun dia telah lama meninggalkan dunia.
Doa dan salam, selalu sempatkanlah untuk para ibu, yang telah bertaruh nyawa, baik seluruh nyawa maupun sebagiannya, untuk kita semua, anak - anak mereka.
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom
Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
- Meski Dia Anak Adopsi, 15 Tahun Sudah Kami Merawatnya dengan Hati
- Di Balik Senyumku Saat Wisuda, Ada Cobaan Berat yang Kulalui
- Kisah Nyata: Kubuktikan Ketulusan Cintaku Meski Nyawa Taruhannya
- Bu, Jangan Mengamen Lagi! Doakan Saja Nova Jadi Desainer Muslimah
- Kupakai Gaun Nenek untuk Foto Pre-Wedding, Hasilnya Wow!
- Sungguh Pahamilah, Meski Tubuhku Cacat Aku Tak Mau Dikasihani