Kisah ini dikirim oleh Esa Dynasty Alamsari dan menjadi salah satu pemenang tambahan dalam Lomba Kisah Aku dan Ayah. Semoga bisa menjadi inspirasi, karena setiap ayah selalu berjuang memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
***
Nama saya Esa Dynasty Alamsari.
Advertisement
Saya seorang perempuan biasa, mungkin sama seperti pembaca. Saya seorang karyawati, seorang istri, seorang kakak dari adik laki-laki, dan seorang anak pertama dan perempuan satu-satunya. Adik saya hanya satu, adik laki-laki.
Saya memanggil ayah dengan sebutan bapak. Buat saya, bapak adalah malaikat pelindung, Super Dad, atau apapun sebutan hebat lainnya. Yang pasti, papak adalah sosok yang selalu melindungi saya, mama dan adikku.
Sewaktu kecil, saya merasa aneh dengan cara bapak mendidik saya. Entahlah, mungkin itu hanya bagian dari pemikiran anak-anak. Pada saat itu saya merasa bapak mendidik saya dengan keras, bukan secara fisik, karena bapak tidak memukuli saya. Bapak keras karena selalu menetapkan target-target. Biasanya bapak tidak menyampaikan hal itu secara langsung, tetapi disampaikan lewat obrolan ringan atau nasehat-nasehat.
Bapak begitu 'saklek' terutama masalah pendidikan. Tidak ada tawar menawar untuk masalah sekolah. Saya diajarkan untuk disiplin, hadir di sekolah paling tidak setengah jam sebelum jam masuk. Pulang sekolah, makan, istirahat sebentar, lalu mengerjakan PR. Jika tidak ada PR, paling tidak saya harus mengulang apa yang tadi diajarkan di sekolah.
Ketika ujian, Bapak selalu jadi mentor paling galak untuk pelajaran matematika. Kami sering berdebat mengenai metode menyelesaikan soal matematika karena cara bapak kadang tak sesuai dengan cara yang diajarkan sekolah. Bapak selalu memberi saya cara menghitung cepat untuk menyelesaikan sebuah soal. Tapi saya selalu saja ingin mengerjakan dengan cara yang diberikan di sekolah. Kami sering bertengkar untuk hal sepele seperti itu. Saya punya sifat yang kurang lebih sama dengan bapak. Sama-sama keras, ego yang tinggi.
Saat saya minta sesuatu dan bapak belum bisa membelikan, saya tak pernah berani membantah, apalagi merajuk sampai mengancam. Bapak saya juga bukan tipe ayah yang suka memuji keberhasilan anaknya. Ketika saya mendapat ranking satu di SD sejak kelas satu sampai kelas enam, bukan pujian yang saya dapat, tapi nasehat untuk tetap belajar dan tidak terbuai dengan pencapaian saya. Mungkin itulah yang yang membuat saya selalu berprestasi. Hingga masuk SMP dan SMA, walaupun tidak lagi ranking satu, saya selalu masuk peringkat minimal lima besar.
Dari Jabatan Supervisor, Bapak Menjadi Sales Kosmetik Karena Kena PHK
Sekitar tahun 1998, bapak kena PHK. Sejak itulah kehidupan kami berubah. Kami harus hidup prihatin. Saat itu usia saya baru 11 tahun dan adik saya baru 2 tahun. Sejak kena PHK, bapak bekerja tidak tentu, mulai jadi sales permen, sales kertas, jadi tukang lem poster rokok, apa saja, bahkan bapak menjadi penjual alat kosmetik. Dulu bapak jadi seorang supervisor yang membawahi beberapa orang, namun setelah PHK, bapak harus berjalan keliling kampung membawa tas besar untuk menawarkan kosmetik pada ibu-ibu sekitar dengan sistem pembayaran kredit.
Rasanya sedih jika kembali mengingat hal itu, namun bapak begitu tegar di masa tersebut. Mungkinkah di hati bapak ada rasa malu ketika harus bertemu dengan teman-teman semasa di kantor dulu? Entahlah, yang pasti saya tak pernah malu dengan bapak.
Hal yang selalu saya ingat dari nasehat bapak adalah,
Hidup itu harus teguh pendirian,satu kata satu perbuatan,
jangan plin plan.
Bapak juga mengajarkan kami untuk hidup di kaki sendiri. Jangan mengandalkan orang lain. Karena manusia sering kali mengecewakan bagi sesamanya.
Banyak kisah berkesan bersama Bapak yang tidak akan pernah saya lupa. Ada dua kisah yang sampai sekarang masih membuat saya terharu dan berkaca-kaca. Pertama, saat saya sidang sarjana, saya tidak memiliki komputer/laptop. Padahal saat sidang, semua mahasiswa diharuskan membawa salah satu di antaranya. Akhirnya saya pinjam komputer dari kantor dan bapak yang membantu mengangkat CPU-nya. Akhirnya saya lulus berkat perjuangan itu.
Kedua, ketika saya harus training di Jakarta sebagai syarat masuk di salah satu perusahaan yang cukup besar. Saat itu harus membawa banyak perlengkapan dalam sebuah koper besar. Saya dan bapak harus naik ojek menuju kantor tempat training tersebut. Bapak yang membawa koper besar dan berat milik saya itu. Bapak tidak pernah mengeluh. Bahkan Bapak mengajakku bercanda sampai tertawa.
Sekarang saya sudah menikah dan tinggal terpisah dari orang tua, meskipun kami masih di satu kota yang sama. Satu hal yang selalu saya rindukan, terutama di saat penat hidup menghampiri adalah obrolan panjang bersama Bapak. Kami sering bercanda tentang banyak hal yang diakhiri tawa keras. Kami sering mendiskusikan banyak hal, juga nasihat tentang hidup dan kehidupan.
"Pak, terima kasih untuk setiap kasih sayang dan nasihat. Terima kasih untuk didikan yang membuat Esa bisa sekuat ini menghadapi apapun. Maaf, Esa masih sering ngecewain bapak. Kalau Esa boleh menyampaikan satu kalimat untuk bapak, Esa bangga terlahir dan ditakdirkan jadi anak Bapak. Esa sayang Bapak,"
Selamat Hari Ayah.
Setiap ayah adalah laki-laki terhebat untuk anak-anaknya.
Semoga kisah saya bisa menginspirasi.
(vem/yel)