Oleh Sandra Ratnasari
Sejak pacaran, adik saya sudah tahu bahwa ia akan sulit punya anak. Calon istrinya, calon ipar saya, punya masalah di kandungannya. Tapi, cinta mengalahkan semua halangan. Mereka menikah juga.
Adik saya adalah orang yang paling bersemangat di bumi ini. Ia selalu optimis akan segala hal termasuk yakin bahwa istrinya bisa sembuh. Tujuh tahun mereka menikah, kesembuhan itu semu saja. Mereka belum berhasil juga punya anak. Anak-anak saya menjadi penghibur. Tapi, karena kami tinggal di kota yang berbeda, ‘hiburan’ pun datang sesekali saja.
Advertisement
Suatu kali, adik ipar saya menelepon. Ia bertanya, bagaimana jika mereka mengangkat seorang anak. Anak itu baru akan dilahirkan beberapa hari lagi. Sebenarnya, ini adalah percobaan untuk mengadopsi anak yang kesekian kalinya ia lakukan. Tapi, beberapa kali usaha itu selalu gagal karena berbagai sebab. Saya tahu, kali ini ia tidak ingin lagi kecewa. Hanya satu pesan saya, “Seperti menunggu bayi yang akan lahir, kamu harus siap menerima ia apa adanya. Tidak usah dipermasalahkan apa gizi si Ibu waktu hamil, nanti saja kita perbaiki gizi bayi setelah ia kamu asuh.”
Usaha adopsi kali ini berhasil. Angel, nama bayi itu, lahir sehat. Adik dan adik ipar saya sepakat, mengakui Angel sebagai anak adopsi mereka. Bukan mengarang cerita dan mengakui ia anak kandung. Menurut saya ini jalan terbaik. Tapi, kata ibu saya, “Kasihan kalau ia tahu bukan anak kandung.” Adik saya berusaha membicarakan hal ini dengan ibu. Akhirnya kami sepakat, akan memberitahu orang yang bertanya, riwayat ‘lahirnya’ Angel.
Seperti namanya, Angel pun seperti malaikat. Ia adalah matahari pagi di keluarga kami. Gairah hidup ibu yang sudah sepuh, langsung melonjak ketika Angel datang. Bapak saya yang sudah sering sakit, langsung mau makan kalau Angel datang dan mengoceh. Saya, yang sering menunda pulang ke Bandung, selalu ingin pulang dan main bersamanya.
Setiap bersamanya, saya selalu ingat saat hendak mengadopsi Angel. Pikiran ‘jangan-jangan’ menghantui kami semua. Bagaimana jika ia cacat karena pernah hampir diaborsi dan gagal? Bagaimana bila jelek rupanya? Atau bodoh karena ibunya minum obat? Kekhawatiran akan banyak hal negatif itu menutup pertanyaan lain. Anak saya, yang waktu itu berumur enam tahun berkomentar, “Nanti saya ajari adik bayi naik skateboard dan main basket. Dia pasti akan jadi tomboi seperti akyu.” Komentar anak-anak itu, menyadarkan kami semua bahwa sebaiknya kami membuang pikiran negatif dan membuat rencana nyata misalnya tentang pendidikan dan kesehatan Angel.
Sejak Angel berada di tengah keluarga besar saya, gairah kehidupan bangkit kembali. Semangatnya saat belajar merangkak, berdiri, dan berjalan mengingatkan kami bahwa kehidupan harus dimulai dengan sesuatu yang positif. Pikiran negatif sering menghambat peluang untuk membuat rencana yang lebih baik untuk masa depan. Saya pun berterima kasih kepada Tuhan yang sudah mengirimkan ‘malaikat’ untuk keluarga kami.
[initial]
Source: GoodHouseKeeping, Edisi Oktober 2012, Halaman 143
(GH/gil)