Oleh Uly Siregar
Aktif di jejaring sosial seperti Facebook selain menyenangkan juga memicu persaingan dan menimbulkan sedikit stres. Sebab setiap kali mengintip newsfeed Facebook, setiap orang sepertinya menjalani hidup sempurna. Semua foto keren. Setiap pasangan bersaing memamerkan keharmonisan lewat foto. Setiap orang berwisata ketempat-tempat indah. Tapi yang paling mencolok: pameran keberhasilan anak. Ahli melukis, main piano, balet, jago karate, para model cilik. Belum lagi jenius-jenius cilik yang lancar membaca sejak usia tiga tahun, atau pintar matematika. Sungguh gampang menemukan anak-anak cemerlang di jejaring sosial. Setidaknya dalam daftar 1.400 teman saya.
Lantas, bagaimana dengan anak saya sendiri? Sejujurnya, saya sedikit terintimidasi. Ada banyak pertanyaan, ada banyak pembanding yang kadang-kadang meresahkan. Meskipun tak dilontarkan secara terang-terangan, persaingan di antara ibu sangatlah ketat. Ibu mana yang mau anaknya ketinggalan? Dan bila dalam kenyataan anak sendiri memang terbatas kemampuannya, kadang muncul perasaan jengah melihat pameran prestasi anak di jejaring sosial.
Advertisement
Anak sulung saya, Alana (5) yang baru lulus TK, bukan termasuk golongan jenius, tapi yang pasti termasuk dalam kriteria ‘baik-baik saja’. Tentu saja saya pernah berharap (bahkan berdoa) anak saya termasuk golongan jenius cilik. Tapi selalu saya berhasil mengingatkan diri saya bahwa ia ‘hanya’ golongan normal.
Tapi kadang-kadang ambisi pribadi menyelinap. Seandainya saya boleh membentuk anak saya berkarier seperti yang saya impikan, saya ingin dia menjadi Nicholas Kristof, wartawan New York Times pemenang 2 penghargaan Pulitzer. Sebab dulu sebagai wartawan saya tak sempat melangkah terlalu jauh akibat menikah di tengah karier dan migrasi ke negeri Paman Sam. Saya sering menjalani hidup yang tak sempat saya cicipi lewat anak sulung saya, itu tak baik, tapi sulit dihindari. Apalagi si sulung mirip dengan saya. Ia piawai membaca dan mengeja, tapi tak terlalu menonjol di matematika. Bakat menulisnya terlihat saat ia membuat ‘buku cerita’ 8 halaman, dilengkapi teks dan ilustrasi.
Hari ini, saat anak saya yang ‘biasa-biasa’ itu, menerima piagam penghargaan atas prestasinya dalam membaca dan mengeja, karena dia selalu mendapat nilai 100. Saya sungguh gembira. Bukan karena saya bisa memamerkan prestasinya di Facebook, tapi saya lega meskipun dyslexia mengalir di keluarga kami, ia sepertinya tak kesulitan. Apalagi ada catatan kecil dari sang guru: “Setiap guru berharap memiliki murid seperti Alana. Ia berinteraksi sangat baik, memiliki partisipasi yang tinggi, selalu memberikan usaha terbaik, dan unggul secara akademis. Saya beruntung memiliki Alana di kelas saya.” Saya pun langsung bernafas lega.
[initial]
Source: GoodHouseKeeping, Edisi Oktober 2012, Halaman 145
(GH/gil)