Oleh Sanita Deselia
Tutur kata yang halus dan lembut tetap menjadi ciri khasnya. Meski tengah diburu waktu, tidak sedikit pun raut gelisah dan sikap tergesa tampak dalam sikapnya. Sebaliknya dengan tenang Maudy Koesnadi, 37 tahun, mengikuti setiap tahap sesi foto untuk sampul GH sambil berbagi cerita tentang kesibukan di balik layar teater sampai serunya menyaksikan tumbuh kembang putranya, Edyy Maliq Meijer yang berusia 5,5 tahun. [initial]
Source: GoodHouseKeeping, Edisi November 2012, Halaman 46
Advertisement
Advertisement
Maudy Mencintai Anak dalam Dua Kultur
Mencintai Anak dalam Dua Kultur
Membesarkan anak yang tumbuh di dua kultur berbeda, yakni Indonesia dan Belanda, bukan perkara mudah. Saya dan Erik masih terus mencoba mencari perpaduan yang tepat untuk mendidik anak, ujar Maudy. Istri dari Erik Meijer (42) ini mengaku lingkungan sangat memengaruhi perilaku putranya.
Kalau sedang berkunjung ke kampung ayahnya di Belanda, dia bisa jadi pribadi yang mandiri, karena di sana tidak ada suster dan pembantu. Dengan mudah dia bisa ambil makanan sendiri, apa-apa sendiri. Tapi begitu kembali ke Jakarta, sekali klik dengan cepat dia kembali minta dilayani, tutur Maudy.
Bagaimana Anda menghadapi perilaku seperti itu?
Dia itu pintar sekali. Dari kecil dia sadar kalau di rumah eyangnya dia bak raja. Apa-apa tinggal minta. Jangankan di Belanda yang tak ada pembantu, di sekolah saja grupnya bilang kalau Eddy paling rajin bereskan mainan, tapi kalau di rumah karena tahu ada pembantu yang bereskan, dia tak melakukannya. Akhirnya saya bilang ke asisten saya kalau Eddy salah, jangan ragu menegurnya.
Siapa yang lebih keras mendidik anak?
Saya lebih keras, saya si bad cop. Beda kalau dengan ayahnya dunia lebih berbunga-bunga, lebih santai. Tapi saya tidak keberatan kalau mungkin nanti besar Eddy lebih mau cerita sama bapaknya. Saya pikir tak masalah kita memainkan peran-peran (good cop bad cop) itu.
Bagaimana Anda memilih sekolah untuknya?
Kita tidak punya pilihan. Di Jakarta sekolah anak itu mahal dan berat. Jam delapan pagi sampe setengah dua siang. Lima kali seminggu. Sementara di Belanda untuk anak seusia Eddy, cuma 4 jam sehari dan itu pun tiga kali seminggu. Tapi kalau tidak masukkan anak ke sekolah, anak kita tidak bisa mengejar pergaulan dan standar pendidikan saat ini. Saat ini saya memilihkan sekolah nasional-plus untuknya.
Tinggal di dua kultur berbeda adakah perbedaan mendasar yang jadi kendala dalam mendidik anak?
Saya bersyukur walau Erik orang asing tapi nilai kekeluargaannya tinggi. Saya belajar banyak dari cara mertua mendidik suami saya dan adiknya. Sampai-sampai kedua anaknya tidak tega kalau berbuat salah karena akan menyakiti hati orangtuanya.
Adaptasi Lebih Dalam
Akhir September lalu, usia perkawinan Maudy menginjak angka 11 tahun. Artinya satu dekade pertama telah terlewati. Benarkah masa-masa sulit telah berlalu? Meski rumah tangganya cenderung aman dari gosip, bagi Maudy setiap tahap kehidupan punya masa-masa sulit berbeda. Selalu ada hal dimana kita perlu beradaptasi lebih dalam, kata Maudy.
Tahap-tahap seperti apa yang dimaksud?
Kondisi hidup kan berubah terus. Misalnya dulu level kerja tidak sesibuk sekarang, dan kami hanya tinggal berdua. Lalu sekarang hadir anak, pekerjaan juga bertambah. Kita harus terus beradaptasi, saling pengertian tetap harus berjalan. Pertengkaran pasti ada, tapi selalu ada penyelesaian, baik berdiam diri dulu, atau dibuat santai dengan bercanda. Tapi yang jelas selalu dibicarakan. Kalau ada berita miring, kami diskusikan bagaimana cara terbaik menghadapinya bersama.
Sulitkah menjaga kemesraan?
Waktu bersama itu penting. Weekend adalah waktu untuk kami bertiga. Eddy pasti nempel pada bapaknya. Tapi waktu untuk berduaan juga penting. Kadang pas Eddy tidur siang, kami keluar sebentar, pergi berduaan saja.
Bagaimana Anda merayakan kebersamaan?
Saat hari jadi, kami tak pernah lupa. Perayaan kecil selalu ada. Perayaan kemarin kami pergi berduaan tengah malam demi tidak melewatkan saat pergantian hari dan menikmati detik pertama hari jadi kami. Sederhana saja, kami pergi nonton berdua lalu saling bertukar kado.
Maudy Rayakan Hidup dengan Bergandengan
Rayakan Hidup dengan Bergandengan
Hidup baru bermakna jika kehadiran kita memberi arti bagi orang-orang di sekitar. Bukan hanya bagi sahabat atau teman terdekat, tetapi setiap perempuan perlu saling bergandengan untuk saling menguatkan. Pemeran Zaenab dalam Si Doel Anak Sekolahan ini yakin pertambahan usia bukan alasan untuk berhenti berkarya, justru semakin matang pengalaman yang dimiliki, saatnya untuk merayakan hidup dengan berbagi dan menyentuh orang lain.
Berkumpul bersama sahabat selalu menjadi saat yang menyenangkan. Di waktu senggang sesekali Maudy mengadakan girls night out bersama tujuh sahabat perempuannya. Berkumpul makan malam bersama, mengobrol dan tertawa bareng. Itu hal sederhana yang patut disyukuri, kata Maudy. Saya punya sahabat perempuan dari SMP, tempat saling cerita banyak hal. Kadang walaupun saya belum cerita, saat membaca gosip yang tidak-tidak, sahabat saya biasanya marah duluan, tambahnya. Bersama sahabat ia melewati berbagai proses dan masalah kehidupan. Kuliah, kerja, menikah, punya anak.
Berbagi dengan sahabat seringkali bisa meringankan beban. Sedih bisa berganti tawa walau hanya sekadar bercerita. Tapi kalau memang masalahnya cukup berat ya perlu sikap serius juga. Saya kan belajar meditasi, jadi kalau dia sedang down saya ajak berdzikir atau baca doa apa. Atau saya coba memberinya sudut pandang lain sehingga bisa terbuka dalam memandang suatu masalah. Begitu juga sebaliknya, dia juga kan rajin ikut pengajian, jadi kalau saya sedang terkena gosip tak enak dia suka menyarankan saya membaca ayat-ayat tertentu untuk menguatkan, terang Maudy.
Memberi kekuatan hendaknya tidak terbatas pada sahabat saja. Banyak perempuan yang belum menyadari kekuatan dan potensi dirinya untuk bisa mengubah sekitar. Menjadi spoke person beberapa produk, memberi kesempatan bagi Maudy untuk ikut serta membantu perempuan Indonesia memberdayakan dirinya. Saya senang bisa menjadi bagian dari itu. Bertemu ibu-ibu dari berbagai daerah, berbagi pengalaman dan kekuatan lewat berbagai talkshow maupun kelas ringan yang diadakan seperti anger management, yoga, perencanaan keuangan dan sebagainya, ujar Maudy. Tidak berhenti di sana, bersama para istri di kantor suaminya, Maudy pun aktif dalam kegiatan sosial. Kami pernah juga membuat kegiatan sosial untuk membantu perempuan yang terkena KDRT atau para ibu dengan anak berkebutuhan khusus. Kami mencoba mengajukan proposal kepada mereka yang punya uang untuk memberikan modal usaha, atau membuat pelatihan mengasah kreativitas dan produktivitas, kata Maudy. Ia berharap itu bisa membuka jalan untuk meraih hidup yang sedikit lebih baik.
Menyentuh hidup orang lain bisa dilakukan tidak hanya terbatas pada kegiatan sosial. Lewat kecintaannya terhadap seni Betawi, ia asyik berkarya lewat aktivitasnya sebagai produser sandiwara teater betawi. Awalnya dari aktivitas abang-none. Saya ingin membuat sandiwara Betawi yang bisa menampung bakat seni para finalis abang-none. Teater ini pentas setiap tahun sekali. Bentuknya sih komedi Betawi yang mengangkat peristiwa seputar sejarah legenda Betawi, paparnya. Lewat teater ini Maudy ingin mengajak anak muda untuk menyalurkan bakat seni sekaligus melestarikan budaya. Ini sebenarnya adalah wadah semangat idealisme. Tempat berkarya bersama, tegasnya. Itu sebabnya perlahan Maudy mencoba memberi kesempatan pada anak-anak muda tersebut untuk lebih mandiri dengan tidak melulu bertindak sebagai produser. Saya coba bertindak sebagai penasehat saja, ini juga bisa melatih anak-anak muda itu untuk lebih kreatif dan mandiri, pungkas Maudy.