“It hasn’t all been perfect, but it’s been worth it.”
She has little in common with your average working woman. Dengan wajah sehalus porselen dan tubuh yang langsing, tak terlihat bahwa ia adalah ibu dari dua anak yang lucu. Memang, di usia 31, bisa dibilang ia pun masih ‘kanak-kanak’. Pernikahan, karier, dan keluarga menyempurnakannya dalam dua belas tahun terakhir.
“Saya termasuk perempuan tanpa rencana. Absolutely no plan. Yang pasti, saya harus bersiap menghadapi apa saja. Hidup mengajarkan bahwa tak ada yang bisa dilakukan untuk mengontrol segala hal. Anda hanya harus mempersiapkan diri menjadi yang terbaik. Jadi itulah motto hidup saya: keep on keeping on going.”
Advertisement
Untuk seseorang yang telah memiliki segalanya: ketenaran, keluarga harmonis, dan dua anak yang tampan, pernyataannya tentang hidup mungkin terdengar sulit dipercaya. Tapi itulah Sophie. “Saya pikir, percuma menjalani hidup yang tak sesuai dengan kemampuan. Karenanya saya percaya bahwa tak berencana akan lebih menyenangkan, menjalani yang terjadi dan berusaha semampunya. Saya cenderung melakukan yang menurut saya baik, bukan yang menurut orang lain baik untuk dilakukan.”
Bisa dibilang, Sophie menempuh jalan tak biasa bahkan saat memulai kehidupan berkeluarga. “Banyak yang terkejut ketika mengetahui saya hamil di usia 24, saat baru saja berpacaran enam minggu dengan Richard. Karier kami baru mulai dan bum...saya hamil! Tentu saja kehamilan tersebut tidak direncanakan, tapi saya tetap bahagia karena saya selalu ingin punya anak. Apalagi saya juga cinta pada Richard,” katanya ceria. “Sungguh, saya tak memiliki karier, hanya fokus pada kenyataan harus menjadi ibu. Perempuan lain barangkali menunda hamil karena menunggu saat yang tepat. Tapi bagaimana jika saat yang tepat itu tak pernah datang?”
Saat mengandung Sonny, Sophie menderita preeklamsi dan harus melahirkan lebih cepat delapan minggu. Di usia empat bulan, Sonny didiagnosa menderita meningitis. Saat hamil putra keduanya, Kit, lagi-lagi Sophie harus melahirkan lebih cepat karena preeklamsi. Tapi hal-hal itu tak membuatnya tenggelam. “Saya hanya memikirkan yang saya miliki sekarang: anak-anak yang sehat dan gembira. Saya bangga sekli pada keluarga saya. Kami telah melewati saat-saat sulit. Jika suatu ketika saya kehilangan ketenaran, misalnya tak ada lagi yang ingin melihat saya menyanyi dan telepon tak lagi berdering mengabarkan kontrak kerja, saya tak keberatan. I would still be happy because I’d have Richard and the boys.”
Di usia 18, Sophie menerima kontrak rekaman yang pertama. “Dan semua kandas saat saya umur 20,” katanya tersenyum. “Tak ada lagi rekaman, saya tak punya band. Semua habis. Hal itu mengajarkan pada saya untuk lebih hati-hati. Jangan terkesima pada ketenaran, melangkah perlahan saja. Saya pun belajar bertanggung jawab pada keputusan sendiri dan berusaha terus maju.”
Perceraian orang tuanya membuat Sophie bertekad melakukan apa saja untuk tetap menyatu sebagai pasangan dengan Richard. “Pernikahan harus dijaga, cinta harus dipupuk. Kami meluangkan waktu berdua untuk melakukan hal itu. We remember we’re still young and we’re in love. He doesn’t havea jealous bone in his body, which I love.”
Di 2011, Sophie merampungkan album Make a Scene. “Seperti juga perempuan lain yang bekerja, saya jungkir balik. I give myself crazy schedules. Akhirnya, saya korbankan waktu tidur.” Bulan-bulan terakhir ini, ia melakukan tur ke Rusia, Asia (Indonesia), dan Eropa. Sonny selalu mengikutinya. “Ia tak terganggu dengan pekerjaan saya, karena sudah terbiasa. Dia terlihat senang bisa bersama saya menikmati fasilitas hotel sekaligus melihat belahan dunia lain. I felt so privileged to be able to do that with him.”
Source: Goodhousekeeping, edisi November 2011, halaman 78-www.goodhousekeeping.co.id
(vem/tik)