Sukses

Lifestyle

7 Sikap agar Lebih Akrab dengan Keluarga dan Saudara

Fimela.com, Jakarta Lebaran selalu datang dengan semarak, tetapi tak jarang meninggalkan jarak yang tanpa sadar terbangun di antara keluarga dan saudara. Kesibukan setahun penuh membuat waktu bersama hanya terasa formalitas, sekadar tradisi tanpa kedekatan yang tulus. Di tengah suguhan makanan lezat, pakaian baru, dan senyum di foto keluarga, kadang ada hal yang tak tertangkap mata: hubungan yang terasa hambar.

Padahal, momen Lebaran justru kesempatan paling berharga untuk membongkar tembok-tembok tak kasatmata itu dan menenun ulang keakraban. Jika disadari, kerukunan bukan tercipta dari hal besar, melainkan sikap-sikap kecil yang konsisten dihidupkan. Lebaran hanyalah panggung; peran hangat itu tetap kita yang mainkan.

Berikut tujuh sikap sederhana tapi berdampak besar agar Sahabat Fimela lebih akrab dengan keluarga dan saudara, terutama di momen Lebaran yang penuh berkah ini. Simak uraiannya di bawah ini, ya.

What's On Fimela

1. Berani Menjadi Pendengar dengan Penuh Empati

Sikap paling sederhana, tetapi paling sering diabaikan adalah kesediaan mendengarkan tanpa ada niat mengatur arah pembicaraan. Banyak orang hanya menunggu giliran bicara, bukan benar-benar mendengarkan. Sahabat Fimela, saat Lebaran nanti, coba ubah pola ini. Biarkan tiap saudara, adik, atau sepupu menceritakan kabarnya tanpa perlu merasa perlu memberi solusi atau menilai.

Dengan menjadi pendengar murni, tanpa niat menyela atau menimpali dengan kisah sendiri, kita memberi ruang bagi mereka merasa dihargai. Tanpa disadari, orang yang merasa didengar akan lebih nyaman membuka diri. Hubungan yang tadinya dingin perlahan mencair hanya karena ada yang benar-benar menyimak.

Sikap ini bukan tentang diam semata, melainkan menciptakan suasana percakapan yang tidak didominasi ego. Di tengah riuh tawa Lebaran, jadilah telinga yang tenang—karena sering kali, yang orang butuhkan hanyalah didengar tanpa digurui.

2. Menghapus Rasa Kesal atau Prasangka Negatif

Lebaran identik dengan saling memaafkan, tetapi sering kali, hati belum benar-benar melupakan hal-hal kecil yang sempat menyinggung. Sahabat Fimela, tanpa sadar, kita membawa “catatan” masa lalu saat bertemu saudara. Entah itu perselisihan soal warisan, selisih paham saat kumpul keluarga, atau sekadar perbedaan prinsip yang tak sejalan.

Momen Lebaran idealnya menjadi ajang mengosongkan kembali halaman tersebut. Bukan pura-pura lupa, melainkan sadar bahwa kita memilih melanjutkan hubungan tanpa beban catatan lama. Tanpa sikap ini, obrolan tetap terasa canggung, seperti berjalan di atas pecahan kaca yang tak terlihat.

Saat duduk bersama keluarga besar nanti, lepaskan asumsi lama. Pandang tiap orang seperti bertemu kembali tanpa masa lalu yang berat. Kadang, kerukunan terwujud bukan karena segalanya baik-baik saja, melainkan karena kita memilih berhenti mengingat yang buruk.

3. Mengapresiasi Hal Kecil tanpa Berlebihan

Sering kali, kita baru memberi perhatian saat ada prestasi besar: saudara yang menikah, adik yang lulus kuliah, atau keponakan yang sukses bekerja. Namun, Sahabat Fimela, hubungan tak melulu tentang pencapaian monumental. Cobalah mengapresiasi hal-hal sederhana yang kerap terlewat, seperti sepupu yang pandai membuat kue, atau paman yang rajin membersihkan rumah jelang Lebaran.

Tanpa perlu basa-basi berlebihan, ucapan tulus semacam, “Kuenya enak banget, bikin sendiri ya?” atau “Rumahnya rapi sekali, pasti capek menatanya,” sudah cukup mencairkan suasana. Sederhana, tetapi memberi kesan mendalam karena orang merasa dihargai bukan karena pencapaian besar, melainkan usaha kecil yang sering tidak disadari.

Sikap apresiatif ini membuat kita hadir lebih jujur dan ringan di mata keluarga. Di balik tawa-tawa Lebaran, perhatian kecil seperti ini justru jadi fondasi hubungan yang lebih akrab.

4. Tidak Membandingkan Kehidupan

Sikap yang kerap memicu jarak dalam keluarga adalah kebiasaan membandingkan: pekerjaan, pencapaian, bahkan gaya hidup. Sahabat Fimela, terkadang tanpa niat buruk, kita menyinggung dengan ucapan seperti, “Anak A kok belum menikah?” atau “Kapan nyusul beli rumah?”. Kalimat sederhana yang mungkin dianggap basa-basi, tetapi menggores perasaan lawan bicara.

Di momen Lebaran, sangat penting menahan diri dari membandingkan. Percakapan yang sehat justru terbangun dari rasa saling menghargai perjalanan masing-masing, tanpa ada standar yang dipaksakan.

Fokuskan obrolan pada pengalaman, kisah lucu, atau nostalgia masa kecil, alih-alih membahas hal-hal yang rentan memicu rasa inferior. Dengan begitu, setiap anggota keluarga merasa diterima apa adanya, tanpa beban ekspektasi.

5. Turut Terlibat tanpa Menunggu Diminta

Sering kali, saat kumpul keluarga, banyak dari kita hanya menjadi tamu pasif. Duduk manis, menunggu disuguhi, lalu pulang. Padahal, keakraban tak hanya tercipta dari obrolan, tetapi dari keterlibatan bersama. Sahabat Fimela, mulai dari hal sederhana seperti membantu menata meja makan, ikut membereskan rumah, atau bahkan menyiapkan teh tanpa diminta, semua memberi kesan hangat.

Keterlibatan aktif menunjukkan bahwa kita hadir bukan hanya untuk “melewati acara,” melainkan benar-benar bagian dari keluarga. Jangan tunggu diminta; lihat apa yang bisa dilakukan, sekecil apa pun itu.

Dengan ikut terjun membantu, tanpa sadar kita mengikis jarak yang kerap tak disadari muncul dari sikap terlalu formal. Keluarga bukan tamu undangan, mereka rumah tempat kita boleh ikut berbenah.

6. Tidak Membawa Topik yang Menyulut Perdebatan

Setiap keluarga pasti memiliki perbedaan pandangan: politik, agama, gaya hidup. Lebaran memang jadi ajang berkumpul, tetapi bukan panggung untuk menunjukkan siapa yang paling benar. Sahabat Fimela, saat semua berkumpul, sebaiknya hindari memancing diskusi yang berujung debat tak perlu.

Bukan berarti mengekang diri untuk tak berbicara, melainkan bijak memilih topik yang mempererat, bukan memisahkan. Nostalgia masa kecil, cerita lucu saat mudik, atau sekadar membahas makanan favorit jauh lebih efektif membuat suasana ringan.

Sikap ini bukan tentang menghindar, melainkan memahami momen. Lebaran bukan saatnya memaksakan pendapat, tetapi waktu merayakan kebersamaan. Ada ruang untuk diskusi, tetapi bukan di meja makan saat ketupat dan opor tersaji.

7. Membawa Humor dengan Cara Menyenangkan dan Tetap Saling Respek

Salah satu cara paling ampuh mencairkan suasana keluarga adalah humor. Namun, Sahabat Fimela, jenis humor yang baik bukan yang berbalut sindiran atau guyonan soal kelemahan saudara. Kadang, kita lupa batas, membuat lelucon yang mungkin menyentil perasaan orang lain.

Gunakan humor yang mengajak semua tertawa, bukan tertawa atas kesalahan atau kekurangan seseorang. Misalnya, mengungkit cerita masa kecil yang konyol bersama-sama, atau kisah lucu saat keluarga besar berlibur. Humor yang dibagikan, bukan dijatuhkan.

Dengan sikap ini, tawa yang tercipta jadi murni tanpa embel-embel saling menyindir. Hubungan keluarga pun terasa lebih cair karena semua merasa aman menjadi dirinya sendiri tanpa takut dijadikan bahan olok-olok.

Sahabat Fimela, Lebaran selalu identik dengan simbol-simbol besar: baju baru, makanan melimpah, foto keluarga yang kompak. Namun, sejatinya, keakraban yang bertahan tak pernah tercipta dari hal megah, melainkan dari sikap-sikap sederhana yang konsisten kita rawat.

Jangan biarkan momen Lebaran berlalu hanya sebagai ritual tahunan tanpa makna. Jadikan sikap-sikap kecil seperti mendengarkan, menghapus masa lalu, menghargai hal-hal remeh, dan memilih topik yang menenangkan sebagai pondasi hubungan yang lebih kuat. Tidak perlu menunggu momen spesial untuk memulainya, tetapi jika Lebaran menjadi pemicu, mengapa tidak?

Karena keluarga adalah rumah yang harus selalu dirawat, bukan hanya saat ramai, tapi juga ketika suasana hening. Semoga Lebaran kali ini, Sahabat Fimela bisa menciptakan hangatnya rumah itu kembali, dimulai dari diri sendiri.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading