Fimela.com, Jakarta Menggunakan sepeda motor matic, wanita berseragam putih itu terus melaju. Menerobos jalanan lengang yang hanya dilintasi satu dua kendaraan. Dia tetap waspada dengan dua jari tangan kiri yang bertumpu di tuas rem. Bersiap menekan ketika sewaktu-waktu berhenti mendadak.
Dia bukan sedang jalan-jalan sore. Wanita itu bernama Libra Padaunan. Bidan dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Waena, Kota Jayapura, Papua. Terletak di jalan sempit di pinggiran kota, Puskesmas Libra saban tahun kedatangan 365 wanita hamil.
Libra hari itu sedang tak berada di Puskesma. Dia ada kunjungan ke rumah pasien. Dengan bantuan peta digital, dia mengarahkan sepeda motor ke rumah pasien yang sudah waktunya menjalani pemeriksaan. Menggendong tas di bahu kanannya, Libra menemui ibu muda yang sedang hamil itu di sebuah warung.
Advertisement
Sesampainya di dalam rumah, Sang Bidan mulai menjalankan tugas mulianya. Ibu hamil itu berbaring di atas kasur. Perutnya yang semakin membesar terlihat ketika ujung kausnya dibuka. Dengan telaten, tangan Libra mulai menyentuh perut sang ibu. Memeriksa kehamilannya dengan teliti.
Kunjungan ke rumah jadi salah satu kegiatan yang mesti dijalani Libra. Memeriksa kehamilan para pasien yang sulit menjangkau pusat kesehatan terdekat. Tak seperti bidan di masa lampau, cara Libra dan para bidan di Puskesmas Waena kini lebih canggih. Mereka sudah dibekali aplikasi Mobile Obstetrics Monitoring (MOM) dari program Telehealth (T-Health).
Lewat perangkat telepon seluler, aplikasi MOM membantu Libra memasukkan data ibu hamil yang baru diperiksa ke dalam sistem. Dengan cepat sistem akan mengatur dan mengklasifikasikan data yang baru diinput dengan lebih tertata. Data-data itu juga dapat diakses di mana saja, kapan saja, dan sistem secara otomatis akan memberikan tanda bahaya terkait kondisi kehamilan pasien.
Advertisement
AKI Tertinggi di Indonesia
Tugas yang diemban Libra dan rekannya sesama bidan maupun tenaga kesehatan di Papua tidak mudah. Kondisi geografis provinsi paling timur Indonesia penuh tantangan. Pemerintah dalam 10 tahun terakhir memang terus membenahi Papua. Namun medan yang berat membuat upaya itu belum bisa menjangkau setiap jengkal tanah Papua.
Pekerjaan rumah di bidang kesehatan tak kalah menantang, Fasilitas kesehatan di Papua tak sebanyak kota-kota besar di Indonesia. Belum lagi soal aksesnya. Banyak warga harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk menggapai Puskesmas. Tantangan yang harus disadari para ibu ketika mengetahui dirinya sedang hamil.
Tengok saja hasil Kajian Peningkatan Pelayanan Kesehatan Berkualitas Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dikeluarkan Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) Program kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia yang dikeluarkan tahun 2022. Kajian itu merekam dengan lengkap kondisi layanan kesehatan di kedua provinsi tersebut.
Permasalahan infrastruktur dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata menjadi akar permasalahan utama. Tidak semua kabupaten/kota di provinsi Papua dan Papua Barat punya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Puskesmas umumnya cenderung terkonsentrasi di wilayah perkotaan atau kabupaten yang sudah lama eksis.
Data BPS dan Dinas Kesehatan Provinsi mencatat jumlah Rumah Sakit Pemerintah (RSUD) di Provinsi Papua ada sebanyak 30 unit terdiri dari 28 RSUD Kabupaten/Kota dan 2 RSUD Provinsi. Hanya Kabupaten Puncak yang kala itu belum memiliki RSUD.
Sementara untuk jumlah Puskesmas, Pusdatin Kementerian Kesehatan per 30 Juni 2019 mencatat Provinsi Papua memiliki 408 Puskesmas dengan 111 di antaranya Puskesmas Rawat Inap. Alhasil sejumlah masyarakat harus dirujuk ke rumah sakit di kabupaten lain. Kondisi ini berdampak pada biaya operasional dan akses layanan kesehatan yang menjadi makin mahal.
Distribusi yang tidak merata juga terjadi untuk tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan lebih banyak terfokus pada RS atau puskesmas yang berada di pusat kota. Bahkan di beberapa kabupaten, jumlah tenaga kesehatan, termasuk tenaga medis, sangat minim. Banyak RSUD dan Puskesmas yang tidak memiliki dokter spesialis dan bahkan dokter umum.
Khusus soal kesehatan ibu hamil, permasalahan tidak hanya ketersediaan infrastruktur. Jurnal Ekonomi Kependudukan dan Keluarga yang diterbitkan secara daring September 2024 menemukan persoalan tak kalah pelik.
Hasil analisis menunjukkan kematian maternal di Pulau Papua terjadi pada 0,82 persen rumah tangga yang berisiko. Dari jumlah tersebut, sebanyak 27,30 persen kematian terjadi pada masa kehamilan, 15,97 persen kematian terjadi pada masa keguguran/pengguguran, 42,96 persen kematian terjadi saat persalinan, dan 13,77 persen kematian terjadi pada masa 42 hari setelah persalinan/keguguran/pengguguran.
Persentase kejadian kematian maternal lebih banyak terjadi pada rumah tangga yang tinggal di pedesaan, tinggal di rumah layak, memiliki rumah tangga berukuran kecil, memiliki kepala rumah tangga laki-laki, berpendidikan tertinggi SMP ke bawah, dan tidak bekerja.
Kejadian kematian maternal pada rumah tangga di Pulau Papua secara signifikan dipengaruhi oleh klasifikasi wilayah tempat tinggal, ukuran rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, usia kepala rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan sektor pekerjaan utama kepala rumah tangga.
Dampak dari besarnya tantangan itu terekam dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Mortalitas di Indonesia merujuk data Long Form Sensus Penduduk 2020. Papua menjadi provinsi dengan angka kematian ibu tertinggi di Indonesia pada 2020.
Angka kematian ibu di Papua mencapai 565 per 100.000 kelahiran hidup. Itu artinya terdapat 565 kematian perempuan pada saat hamil, saat melahirkan, atau masa nifas per 100.000 kelahiran hidup.
Angka itu 3 kali lipat dari angka kematian ibu di Indonesia sebanyak 189 per 100.000 kelahiran hidup. Bandingkan dengan Daerah Khusus Jakarta. Angka kematian ibu di provinsi ini sebanyak 48 per 100.000 kelahiran hidup, atau terendah se-Indonesia.
Selamatkan Nyawa dengan MOM
Tugas menyelamatkan ibu hamil di Papua itulah yang diemban Libra dan para bidan di Puskesmas Waena Jayapura, Papua. Tugas yang dibantu dengan program MOM. Aplikasi ini memang barang baru saat hadir pertama kali di Bumi Cenderawasih pada awal 2017. Nyatanya, program serupa pernah dipakai di Sumatera Barat pada 2014. Kala itu MOM hadir sebagai proyek percontohan yang berjalan selama setahun.
Aplikasi MOM hadir hasil kerja sama perusahaan teknologi kesehatan Royal Philips dengan pemerintah daerah dan perusahaan telekomunikasi Telkom Group (Telkom Indonesia, AdMedia, dan TelkoMedika).
MOM adalah layanan kesehatan jarak jauh lewat perangkat lunak atau software yang memungkinkan pekerja kesehatan membuat stratifikasi risiko antenatal, menerima bantuan diagnostik, dan menilai kemajuan pasien dari jarak . Aplikasi ini bisa diakses lewat perangkat Ponsel. Cocok untuk masyarakat yang belum punya infrastruktur kesehatan memadai.
Lewat aplikasi ini, para bidan seperti Libra bisa menyimpan data kehamilan dan riwayat kesehatan dari pasiennya dalam data base komputer melalui ponsel. Seluruh data hasil kunjungan ini bisa diakses dan ditelaah para dokter di tempat lain.
Ketika sistem menemukan ada kejanggalan dalam proses kehamilan pasien, seorang bidan di daerah terpencil bisa mendapatkan arahan tentang tindakan yang harus dilakukan dari seorang dokter yang berlokasi sangat jauh .
"Ini berarti bahwa tingkat keguguran atau kematian saat melahirkan dapat dikurangi secara signifikan." ujar Presiden Direktur Philips Indonesia yang kala itu dipimpin Suryo Suwignjo.
Philips Indonesia tak sekadar bicara saat bicara menyelamatkan ibu hamil di daerah terpencil. Buktinya terlihat ketika program MOM diujicoba bersama Bunda Medical Center di Padang selama setahun pada Desember 2013-Desember 2014. Program ini diikuti 656 ibu hamil yang didampingi secara intensif oleh para bidan di enam Puskesmas.
Dari 656 peserta yang diseleksi secara acak tersebut ditemukan sebanyak 90 pasien masuk dalam kategori berisiko mulai dari mengidap asma, darah tinggi, malnutrisi, serta antepartum hemorrhage atau pendarahan dari usia kehamilan 20 minggu.
Hasilnya mencengangkan. Seluruh ibu hamil dalam program MOM tersebut melahirkan dengan selamat. Sebagian besar bahkan menjalani persalinan secara normal. "Kami senang dalam pelaksanaan program ini dapat dilaporkan, tak ada kematian ibu dari 659 peserta yang ikut," ujar ujar Director & General Manager Philips Healthcare Indonesia yang kala itu dijabat Vincent Chan.
Di Papua, meski baru berjalan tahun pertama, program MOM diyakini membawa harapan bagi para ibu hamil. Wali Kota Jayapura yang saat itu dijabat Dr. Benhur Tomi Mano sampai meminta memperluas program dari tiga menjadi 13 klinik di daerahnya.
Program perawatan holistik selama kehamilan ini juga memancing ibu hamil di Jayapura untuk turut serta. Hanya delapan bulan sejak digunakan, fasilias baru Puskesmas Waena kebanjiran pasien dengan kunjungan terjadwal meningkat lebih dari 90% dalam sebulan.
Salah satu pasien itu adalah Lidya Simanjutak. Wanita ini tengah bahagia karena sedang menjalani kehamilan pertama. Program MOM membuatnya tenang karena bisa mengetahui perkembangan bayi dalam kandungannya. "Kami bisa tahu perkembangan bayi kami dan bisa saling berbagi ilmu di ruang tunggu," ujar Lidya yang saat itu sedang memeriksakan kehamilannya.