Fimela.com, Jakarta Asian value, merupakan konsep yang ada sejak tahun 1900-an oleh Mahathir Mohamad (Perdana Menteri Malaysia) an Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura), serta para pemimpin Asia lainnya. Asian value sering digunakan oleh para pemimpin non-demokratis untuk membenarkan penindasan terhadap lawan politik, yang digambarkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kini, 'Asian value' tengah ramai diperbincangkan, karena konten podcast dari akun 'Total Politik' yang mengundang Pandji Pragiwaksono. Di dalamnya, Pandji bertanya soal dinasti politik kepada 2 host Total Politik, Atie Putra dan Budi Adiputro. Arie berpendapat, kalau dinasti politik adalah sah-sah saja karena berdasarkan Asian value.
Namun, sebenarnya apa itu Asian value? Bagaimana sejarah terciptanya Asian value? Dan apa relevansinya dengan politik dinasti di Indonesia?
Advertisement
Advertisement
Mengenal Asian value
Melansir dari Britannica, Asian value adalah nilai-nilai Asia yang banyak berkembang khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara pada akhir abad ke-20, yang dikaitkan dengan isu Hak Asasi Manusia dan penghormatan terhadap budaya Asia kuno.
Pada saat itu, Asian value menjadi ideologi politik yang berupaya mendefinisikan elemen-elemen masyarakat, budaya, dan sejarah yang umum di Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini bertujuan untuk menggunakan kesamaan, misalnya prinsip kolektivisme, dalam menyatukan masyarakat demi kebaikan ekonomi dan sosialnya.
Para pendukung Asian value percaya bila perekonomian di wilayah Asia Timur bisa berkembang karena kesamaan budaya masyarakat, khususnya warisan Konfusianisme.
Konfusianisme menurut Britannica, adalah sistem pemikiran yang berasal dari Tiongkok kuno, menjadi sebuah pandangan dunia, etika sosial, ideologi politik, tradisi ilmiah, dan cara hidup. Pemikiran ini mencakup segala hal yang memerlukan penghormatan terhadap leluhur dan keberagaman mendalam yang berpusat pada manusia.Â
Asian value dan modernitas
Asian value mendapat perhatian khusus karena bertentangan dengan pernyataan Barat kontemporer, bahwa runtuhnya komunisme Eropa dan keberhasilan sosialisme pasar Tiongkok telah menunjukkan keunggulan Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan kapitalisme dibandingkan bentuk-bentuk pengorganisasian masyarakat yang bersaing.
Asian value menimbulkan berbagai perdebatan di masyarakat Asia sendiri. Perdebatan ini menjadi elemen perjuangan yang lebih besar mengenai persaingan visi modern dan bagaimana masyarakat Asia harus diorganisir.
Melansir dari Britannica, para pendukung Asian value membuat 4 poin penting, yaitu:
- Pertumbuhan ekonomi yang signifikan berkaitan dengan Asian value.
- Pembangunan ekonomi harus diprioritaskan pada masyarakat yang sedang berjuang keluar dari ambang kemiskinan.
- Hak-hak sipil dan politik harus berada di bawah hak-hak ekonomi dan sosial.
- Kepentingan warga negara harus didahulukan dibandingkan hak-hak individu penguasa.
Poin-poin tersebut ditetapkan dalam Deklarasi Bangkok pada tahun 1993 tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini ditandatangani oleh 34 negara di Asia namun juga dikritik oleh organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Asia.
Advertisement
Kritik terhadap Asian value
Kritik terhadap Asian value telah menolak klaim yang mengatasnamakan upaya untuk menopang pemerintah otoriter dan tidak liberal terhadap lawan-lawan domestik dan eksternal untuk mengaburkan kelemahan model pembangunan ekonomi Asia. Terjadinya krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998 menganggap benar argumen tersebut. Beberapa kritikus juga menuduh, bahwa wacana Asian value didasarkan pada stereotip budaya Asia yang sederhana.
Para ahli teori feminis juga memandang wacana Asian value sebagai upaya untuk melegitimasi hierarki gender, kelas, etnis, dan ras yang tertanam dalam budaya Asia, dalam model pembangunan Asia, dan dalam hubungan sosial kapitalis yang lebih luas.
Perdebatan ini relevan dengan argumen dalam teori politik mengenai apakah komitmen terhadap keadilan dan kesetaraan global dapat didasarkan pada Hak Asasi Manusia (HAM). Menanggapi asumsi Barat bahwa struktur politik liberal adalah titik awal untuk memajukan kesejahteraan manusia, seperti Charles Taylor (Tokoh komunitarian) yang merefleksikan pengalaman budaya Asia untuk mengkaji potensi dan tantangan dalam membangun konsensus global yang lebih inklusif, tanpa paksaan, namun kuat tentang Hak Asasi Manusia.
Relevansi Asian value dengan politik Indonesia saat ini
Kini, relevansi Asian value dianggap memudar karena pemerintah menghadapi populasi yang semakin terdidik dan terpapar dengan ide-ide global.Â
Praktik ‘Politik Kekerabatan’ yang kerap disebut ‘Politik Dinasti’ masif terjadi. Praktik ini kian mengancam demokrasi karena dibarengi dengan penyalahgunaan wewenang dan hukum, serta aturan untuk memuluskan jalan kerabat atau orang tertentu demi meraih kekuasaan. Walaupun pemenuhan hak individu seharusnya mempertimbangkan hak-hak masyarakat lainnya, karena keputusan politik berpotensi mempengaruhi banyak orang.
Asian value dalam konteks politik dinasti banyak dikritik karena dianggap melanggengkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mengutip Andri Setianto dari kompas.id, sistem politik dan birokrasi di negara-negara Asia, baik demokratis atau otoriter mempunyai andil menciptakan masyarakat korup.Â
Dalam konteks sosial, Asian value sering disalahartikan dan disalahgunakan sekadar untuk melakukan tindakan korup. Dan kini, perdebatan tentang Asian value bukan hanya soal budaya dan ekonomi, tapi juga berkaitan erat dengan praktik politik dan Hak Asasi Manusia. Meskipun Asian value mengandung nilai-nilai positif, faktanya penggunaan dalam konteks politik dinasti tetap menimbulkan banyak pertanyaan dan kritik tajam.
Â
Â
Â
Penulis: Miftah DK
#Unlocking The Limitless