Fimela.com, Jakarta Menjadi perempuan kerap dihadapkan pada situasi yang seolah harus memilih antara karier atau keluarga. Padahal, perempuan bisa menjalankan keduanya jika bisa mendapatkan haknya. Hal ini dibuktikan oleh Meutya Viada Hafid atau lebih dikenal dengan Meutya Hafid, mantan jurnalis yang kini menjadi Ketua Komisi I DPR RI.
Meski memiliki jabatan yang cukup tinggi, Meutya Hafid pun masih berjuang bersama perempuan lain di dunia untuk bisa mendapatkan hak-haknya. Pasalnya, hari-hari ini perempuan masih membutuhkan pengakuan untuk mencapai kesetaraan gender, memperjuangkan haknya dalam memilih, memiliki pekerjaan, dan kesehatan reproduksi, bahkan untuk menyusui dengan nyaman dan tanpa tekanan.
Meutya menjelaskan bahwa perempuan seharusnya tidak perlu dihadapkan pada pilihan keluarga maupun karier. Menurutnya, anak dan pekerjaan adalah prioritas. Hamil dan punya anak bukan alasan bagi perempuan menjadi tidak produktif. Bahkan pada saat-saat sang anak membutuhkan kehadiran ibunya, ibu tetap harus hadir dengan segenap jiwa dan raga. Berangkat bertugas atau ke kantor dengan membawa anak, tentu seizin atasan, menjadi salah satu hak istimewa seorang ibu sepertinya.
Advertisement
“Semasa hamil dan beberapa jam menjelang melahirkan, saya masih bekerja dan memimpin rapat bersama Menlu. Itu juga salah satu bentuk komitmen saya untuk menjaga secara seimbang antara keluarga dan pekerjaan, selain juga sekarang beberapa kali mengajak Lyora pada agenda-agenda di Komisi I, ketika Lyora sedang ingin bersama ibunya,” cerita Meutya melalui rilis yang diterima Fimela.com.
Advertisement
Fasilitas yang belum mendukung para ibu
Meutya pun baru menyadari bahwa fasilitas untuk Ibu menyusui di DPR masih kurang setelah ia memiliki anak. Akhirnya dibuat ruang menyusui di DPR RI yang bisa digunakan oleh semua ibu. Apa yang dilakukan Meutya mengingatkan bahwa pada prinsipnya negara memberikan perlindungan hukum bagi ibu pekerja yang sedang menyusui anaknya sesuai dengan aturan dalam Pasal 83 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
"Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja."
Dalam Permenkes 15/2013, yang merupakan peraturan pelaksana yang masih berlaku dari UU Kesehatan terdahulu yaitu UU 36/2009, sudah seharusnya perorangan maupun korporasi menjamin penyediaan fasilitas khusus bagi ibu pekerja yang menyusui. Tak hanya peduli kepada fasilitas ruang laktasi, mantan jurnalis ini juga tengah menyoroti tantangan pasangan di Indonesia yang bertarung melawan infertilitas.
Baru-baru ini ia merilis bukunya yang berjudul LYORA: Keajaiban yang Dinanti. Buku ini mengisahkan perjalanan pribadinya yang mengharukan ketika ia mengandung putrinya, Lyora, setelah 10 kali melakukan percobaan bayi tabung. Dengan tulisan yang mendalam dan penuh makna, buku ini membangkitkan kepedulian dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam memperjuangkan kesehatan reproduksinya, bahwa infertilitas adalah suatu masalah kesehatan yang serius, dan setiap pasangan berhak mendapatkan dukungan dan akses terhadap perawatan yang diperlukan.
Fokus ke infertilitas
Meutya menjelaskan bahwa masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh pemerintah. Padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas.
Meutya Hafid berharap bukunya itu tak hanya mengubah stigma dan sikap negatif yang masih sering terkait dengan masalah infertilitas. Ia ingin mendorong perubahan sosial yang lebih luas dalam pemahaman dan dukungan terhadap pasangan yang sulit mendapatkan keturunan..
Ketika seorang perempuan seperti Meutya Hafid memilih jalur ini—menjadi ibu yang juga bekerja dan produktif untuk bangsanya, sering kali waktu yang dapat dialokasikan untuk anak dan keluarga menjadi terbatas. Pekerjaan profesional seringkali memerlukan tanggung jawab dan perhatian yang besar. Namun, Meutya telah cukup membuktikan bahwa manajemen waktu yang baik dan penempatan prioritas yang benar bisa membantu perempuan menunaikan haknya dan mengatasi tantangan ini.