Fimela.com, Jakarta G3N Project x Studio Jeihan sukses membuka perhelatan solo exhibition 64 karya maestro lukis Jeihan Sukmantoro di Museum Puri Lukisan Ubud, Bali, Minggu (10/12/2023). Pameran tunggal karya Jeihan dibuka dengan penuh kemeriahan dipadu kesenian tradisional khas Bali.
Sambutan yang meriah dan ucapan selamat yang membanjiri pameran lukisan tunggal karya Jeihan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, Jeihan bukan seniman sembarangan. Sosok pelukis figuratif itu dikenal luas masyarakat seni dalam dan luar negeri karena karya-karyanya yang luar biasa. Sang maestro merupakan salah satu sosok penting dalam perjalanan sejarah seni rupa Indonesia modern.
Tidak diragukan, karya-karyanya tak hanya dikoleksi kolektor seni Tanah Air, tapi juga mancanegara.Konsistensi melukis selama 50 tahun lebih dengan tehnik dan ciri khas figur “mata hitam” milik Jeihan sudah teruji oleh waktu dan menjadi koleksi wajib kolektor seni.
Advertisement
Pameran lukisan yang dihadiri berbagai seniman, pejabat daerah, dan kolektor seni dari dalam dan mancanegara itu bisa dinikmati pengunjung hingga 5 Januari 2024 mendatang. Seluruh lukisan karya Jeihan yang merupakan koleksi dari G3N Project dan kolektor seni Daniel Jusuf tertata dengan rapi dan runtut, mulai dari karya terlama Jeihan sekitar tahun 1950-an, hingga yang terbaru karya 2016. Jeihan salah satu seniman yang semasa hidupnya rajin berpameran.
Setidaknya, tercatat ada sekitar 100 pameran solo maupun kolektif mengikutsertakan karya Jeihan. Tapi pameran tunggal kali ini diklaim sebagai yang terlengkap dengan karya terbanyak.
“Bisa dibilang kali ini yang terlengkap. Kami menyebutnya, pameran retrospektif, dimana kita bisa melihat karya Jeihan di era sebelum figur dengan "mata hitam" muncul. Ini sekaligus menjawab keraguan banyak orang, yang mengira jika tokoh "mata hitam" atau "black eye" yang menjadi ciri khas Jeihan muncul karena ketidakmampuan Jeihan mengekspresikan objek lukisnya lewat mata," terang General Manager G3N Project Andry Ismaya Permadi, di sela-sela pembukaan
Advertisement
Mata hitam jadi ciri khas sang pelukis
Solo Exhibition: Jeihan and The New Indonesian". Sosok "mata hitam" yang menjadi ciri khas pelukis kelahiran Surakarta, 26 September 1938 itu muncul di era sesudah 1965. Jauh sebelum itu, karya Jeihan yang realis ditampilkan dengan mata yang indah. Jadi, Jeihan memang sengaja memunculkan sosok "mata hitam" sebagai bagian dari ciri khas karya-karyanya dan dianggap mampu lebih dalam mengekspresikan karya-karyanya.
Meski sempat dicibir orang, bahkan dihina banyak kalangan, pemilik nama Tionghoa Lim Tjeng Han itu tetap memegah teguh style melukisnya, hingga akhir hayatnya, pada 2019 silam. Sosok seniman dengan keteguhan prinsip seperti itu, tidak banyak.
“Jadi, jangan mengaku kolektor seni, jika belum mengoleksi karya Jeihan,” tegasnya.
Maka itu, sebagai apresiasi terhadap Museum Puri Lukisan Ubud yang telah bersedia menjadi tuan rumah bagi pameran tunggal Jeihan, kolektor seni Daniel Jusuf turut menyumbang salah satu koleksi karya Jeihan miliknya. Lukisan cat minyak berdimensi 98 cm x 80 cm karya 1969 itu diserahkan langsung kepada Penglingsir Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati untuk menjadi koleksi Museum Puri Lukisan Ubud.
Tiga Filosofi Dibalik Figur “Mata Hitam” Menurut Azasi Adi, anak kedua sang maestro, setidaknya ia ada tiga pendekatan filosofi dibalik sosok manusia tanpa bola mata milik ayahnya.
“Beliau konsisten menggambar manusia tanpa bola mata sejak usia 27 tahun. Pertama, bahwa masa depan adalah misteri, tidak ada satupun orang di dunia ini yang bisa mengetahui masa depan mereka. Hitam juga berarti netral, tidak memihak salah satu. Warna hitam disini mungkin dipilih Bapak, terkait situasi politik saat beliau berkarya di zamannya, dimana politik masih bergejolak dan warna bisa diartikan sebagai keberpihakan terhadap satu kubu. Lalu yang terakhir, sosok "mata hitam" jika dikaitkan dengan isu lingkungan yang makin lama dipenuhi polutan, mungkin nanti manusia di masa depan menutup mata mereka untuk menghindari radiasi,”jelasnya.
"Solo Exhibition: Jeihan and The New Indonesian". Bagi Jean, karya Jeihan seperti ada di babak yang berbeda, meski lahir di era kemerdekaan. Sang kurator menarik sedikit ke belakang, mengajak pengunjung dan kolektor seni melihat masa kecil sang maestro lukis.