Fimela.com, Jakarta Syirkah adalah erat kaitannya dengan bisnis atau usaha. Syirkah adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab. Dimaknai dari segi bahasa, syirkah adalah syarikatan atau bentuk persekutuan.
Persekutuan dalam syirkah adalah bentuk percampuran dua bagian atau lebih, tanpa perbedaan. Jika dikaitan dengan masalah bisnis atau usaha, syirkah adalah akad kerja sama dua pihak atau lebih dengan tanggung jawab sama.
Advertisement
BACA JUGA
Menengok ke masa lalu, istilah syirkah sudah dipakai oleh Rasulullah SAW. Tentu saja syirkah adalah bagian dari perniagaan pada masa itu. Perniagaan yang erat kaitannya dengan harta rampasan perang.
Untuk lebih jelasnya, Fimela.com kali ini akan mengulas pengertian syirkah beserta syarat dan macamnya. Dilansir dari Liputan6.com, simak ulasan selengkapnya berikut ini.
Advertisement
Pengertian Syirkah
Syirkah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bisnis dalam ajaran Islam. Syirkah sudah diajaran oleh Nabi Muhammad SAW sejak dulu kala. Jika dikupas dari segi bahasa, syirkah adalah bentuk persekutuan dua pihak atau lebih.
Syirkah berasal dari bahasa Arab. Kata dasarnya adalah syarika, yashruku, syarikan, syarikatan yang memiliki arti sekutu. Sekutu akan memberikan makna percampuran dua bagian atau lebih yang tidak boleh dibedakan lagi satu dengan lainnya.
Syirkah dalam ajaran Islam memang lebih dekat dengan bidang bisnis. Istilah ini pun lebih populer diartikan akad kerja sama. Syirkah adalah akad kerja sama antara dua orang atau lebih yang keuntungan dan kerugiannya disepakati menjadi tanggung jawab bersama.
Dikaitan dengan masa Rasulullah SAW masih hidup, syirkah adalah perniagaan. Dapat diartikan pula, syirkah adalah akad kerja sama untuk membagi perniagaan yang didapat dari perang. Dikaitkan dengan masa sekarang, syirkah lebih merujuk pada bisnis atau usaha milik bersama.
Syariat Syirkah dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal Ayat 41
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا غَنِمْتُم مِّن شَىْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ إِن كُنتُمْ ءَامَنتُم بِٱللَّهِ وَمَآ أَنزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ ٱلْفُرْقَانِ يَوْمَ ٱلْتَقَى ٱلْجَمْعَانِ ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Wa'lamū annamā ganimtum min syai`in fa anna lillāhi khumusahụ wa lir-rasụli wa liżil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wabnis-sabīli ing kuntum āmantum billāhi wa mā anzalnā 'alā 'abdinā yaumal-furqāni yaumaltaqal jam'ān, wallāhu 'alā kulli syai`ing qadīr
Artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Tafsirnya:
Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah
Ketahuilah wahai orang-orang muslim bahwa ghanimah adalah harta orang-orang kafir yang didapat setelah umat muslim mengalahkan atau menguasai peperangan melawan orang kafir yang pembagiannya dibagi menjadi lima bagian.
Empat per lima bagian adalah untuk yang merampas dan yang berperang. Adapun seperlima sisa yang ada dibagi lagi menjadi lima bagian. Satu bagian diperuntukkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk kemaslahatan orang mukmin secara keseluruhan.
Satu bagian untuk keluarga Nabi, dari bani Hasyim dan bani Muthallib. Satu bagian untuk anak-anak dan para yatim yang ditinggal wafat ayahnya sebelum baligh, dan mereka termasuk orang fakir. Satu bagian untuk orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Satu bagian lagi untuk orang muslim yang berada dalam perjalanan (musafir) dan mereka dalam kondisi kehabisan bekal serta jauh dari negerinya. Itu jika memang engkau termasuk orang-orang yang beriman kepada Allah, Alquran yang diturunkan kepada nabi Muhammad pada waktu perang Badr, hari dimana Allah memisahkan antara yang haq dan bathil, serta memisahkan yang melakukan kebenaran dengan keburukan.
Hari dimana orang muslim dan orang musyrik bertemu satu sama lain. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dari-Nya lah pertolongan untuk kalian sehingga kalian bisa mengalahkan musuh kalian, padahal musuh kalian sangat banyak.
Advertisement
Macam - Macam Syirkah
Syirkah Bil Amwâl
Syirkah ini bertumpu pada modal bersama untuk melakukan sebuah usaha guna menghasilkan keuntungan. Syirkah ini memiliki dua bentuk. Dua bentuk syirkah adalah sebagai berikut:
- Syirkatul Inân
Perserikatan dua pihak atau lebih di mana masing-masing memiliki dana sebagai modal dan keahlian masing-masing dalam sebuah usaha. Modal utama adalah uang dan keahlian. Dalam syirkah ini, barang yang disertakan sebagai modal harus lebih dulu dihitung nilainya sebelum aqad berlangsung. Nilai modal atau barang modal dari masing-masing pihak tidak harus sama.
- Syirkatul Mufâwadhah
Secara bahasa al-mufâwadhah adalah al-musâwah (persamaan). Dinamakan al-mufâwadhah karena modal, keuntungan, kerugian dan keahlian dalam perserikatan ini harus sama. Syirkatul mufâwadhah adalah akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk usaha bersama dengan syarat modal, keahlian serta agama harus sama kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi sama pula.
Syirkah Bil A’mâl atau Bil Abdân
Syirkah ini bertumpukan pada fisik atau keahlian dalam usaha sebagai modal utama. Dalam hal ini, menurut jumhur Ulama tidak mensyaratkan kesamaan tenaga atau keahlian pada masing-masing pihak dan hasil dibagi sesuai kesepakatan bersama.
Perserikatan seperti ini sah menurut jumhur ulama walaupun kemampuan masing-masing tidak sama. Ulama’ yang membolehkan adalah dari kalangan hanafiyyah, malikiyah, hanabilah serta zaidiyyah, berdasarkan hadist:
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku berserikat dengan Ammar dan Sa’ad dalam perang badar (atas hasil rampasan), lalu Sa’ad berhasil menawan dua tawanan sedangkan aku dan ammar tidak mendapatkan apa-apa (lalu kami bagi bertiga), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan kami.” (HR. Abu Dawud dan Nasâ’i’).
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh, yang dalam jenis ini syirkah adalah akad berserikat antara dua orang atau lebih dengan modal pinjaman dari pihak luar karena mereka memiliki kedudukan di tengah masyarakat serta kepercayaan orang yang dipinjam hartanya.
Syirkah semacam ini dibolehkan oleh Ulama’ hanafiyah, hanâbilah, dan zaidiyyah dengan dalil bahwa ini termasuk syirkatut tadhamun (penanggungan) wa taukîl (perwakilan). Maksudnya setiap persero mengklaim barang yang ia tanggung dari hasil pinjaman tersebut dan juga dapat mewakilkan kepada syariknya untuk melakukan pembelian dan penjualan,
Alasan lain adalah perbuatan ini telah lama dilakukan kaum muslimin dari masa ke masa dan tidak terdengar satu pun ulama’ yang melarangnya. Ringkas kata bahwa hasil kesepakatan dari para syarik merupakan suatu bentuk amal (tenaga) dalam usaha bersama. Sehingga menurut mereka hal yang demikian diperbolehkan.
Namun, ada pendapat lain dari ulama’ mâlikiyyah, syâfi’iyah, zhâhiriyyah, imâmiyah, juga Abu Tsaur rahimahullah yang memandang bahwa syirkatul wujûh itu bathil karena menurut mereka syirkah itu hanya pada harta dan tenaga (badan). Mereka menilai syirkatul wujûh bukan harta dan bukan badan.
Syirkatul Mudhârabah
Disebut juga qiradh, dalam bentuk ini, syirkah adalah gabungan dari syirkatul amwâl dari salah satu pihak dan syirkatul abdân dari pihak kedua. Misalnya, akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, di mana ada pihak yang membawa harta sebagai modal usaha sedangkan yang lain membawa badan atau keahlian untuk berusaha. Syirkah seperti ini hukumnya mubah (boleh).
Keuntungan dalam syirkah mudhârabah dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian dibagi sesuai ketentuan syara’ yaitu pemodal menanggung kerugian harta, sementara pengelola menanggung kerugian waktu, tenaga, keahlian dan pemikiran yang telah dicurahkan.
Syirkah ini statusnya sama dengan aqad wakâlah (perwakilan), di mana orang yang menjadi wakil tidak bisa menanggung kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh yang mewakilkan, sepanjang kerugian itu terjadi sebagai sesuatu yang memang harus terjadi, bukan karena kesengajaan atau kecerobohan pengelola.
Modal usaha dalam syirkah mudhârabah harus diserahkan sepenuhnya kepada pengelola. Syirkah itu terbangun atas dasar kepercayaan dan amanah. Jadi, pemodal harus mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola untuk mengelola usahanya sesuai batasan-batasan yang telah ditentukan atau disepakati.