Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya cara berbeda dalam memaknai pernikahan. Kisah seputar pernikahan masing-masing orang pun bisa memiliki warnanya sendiri. Selalu ada hal yang begitu personal dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela Juli: My Wedding Matters ini.
***
Oleh: Goe - Sungailiat
Advertisement
Di waktu kecil aku sering bermain pengantin-pengantinan dengan teman-temanku ,aku menjadi pengantin yang paling cantik dengan menggunakan busana pengantin bak putri kerajaan berhiaskan tiara di kepala dan aku menjadi ratu sehari. Sejak itu aku sering mengkhayal dan mendambakan perkawinanku kelak akan dirayakan seindah khayalan masa kecil. Sering aku berceloteh pada ibuku bahwa kelak aku ingin menggunakan pakaian yang indah dan megah dan pesta perkawinanku dimeriahkan dengan musik yang indah. Ibuku hanya tersenyum mendengar kata-kataku, namanya anak kecil kelebihan fantasinya pikir ibuku.
Khayalan tinggallah khayalan, ternyata mimpi dan angan-anganku tidak pernah terwujud bahwa pernikahan indah dan megah, yang kuinginkan hanyalah sebatas khayalan masa kecilku.
Bermula ketika adikku ingin menikah, karena aku sebagai kakak tertua yang belum menikah maka adat istiadat keluarga mengharuskan aku menikah terlebih dahulu. Permasalahannya adalah aku masih terikat kontrak kerja dengan perusahaan tempat aku bekerja. Di dalam kontrak kerja tersebut aku tidak boleh menikah selama 3 tahun bekerja, sementara kontrak kerjaku baru kujalani selama dua tahun. Aku sudah mengatakan kepada ibu dan adikku bahwa aku tidak mempersoalkan pernikahan adikku dilangsungkan terlebih dahulu tetapi karena ibu memaksa maka aku harus menikah terlebih dahulu, alasannya pamali didahului adik perempuan.
Dengan berat hati aku menyetujui permintaan orang tuaku. Waktu itu aku sudah dekat dengan seorang pria yang usianya lebih tua lima tahun dari usiaku, dan aku utarakan keinginan orangtuaku padanya bahwa aku harus menikah. Tentu saja pria yang sudah menjalin hubungan denganku menyambut baik keinginanku dan kami akhirnya merencanakan pernikahan yang sangat sederhana yaitu hanya melakukan proses akad nikah tanpa ada pesta seperti yang kuinginkan.
Advertisement
Tak Ada Pernikahan Impian
Akad nikah pun ditentukan tanggalnya, mengingat aku masih terikat kontrak kerja maka akad nikahku dilangsungkan di Bandung, tujuannya agar perusahaan di mana tempatku bekerja tidak mengetahuinya. Sehari sebelum pernikahan aku masih berada di luar kota dan pagi harinya aku pun harus ke bandung karena kedatanganaku sudah ditunggu oleh keluargaku dan keluarga calon suamiku.
Tiba di rumah tempat aku melangsungkan pernikahan sudah menanti petugas KUA setempat beserta keluargaku, dan akupun buru-buru didandani oleh perias yang diambil dari salon biasa bukan perias pengantin seperti khayalanku masih kecil. Tidak ada baju pengantin putih dan panggung pelaminan yang indah, hanya dihadiri oleh segelintir keluargaku dan keluarga calon suami serta konsumsi ala kadarnya. Maharpun hanya berupa uang Rp75.000 tanpa ada seserahan, hanya sepasang cincin kawin yang sangat biasa pertanda bahwa aku sah menjadi seorang istri.
Tidak ada satu pun teman-teman yang hadir. Uang mahar Rp75.000 waktu itu malah kubelikan celana jeans di Cihampelas, karena waktu pulang ke Jakarta aku sempat mampir ke Cihampelas dan tertarik dengan salah satu jeans yang di pajang di gerai jeans tersebut. Ya pernikahanku memang koboi saat itu, tanpa perencanaan dan semua dilakukan secara mendadak demi adikku.
Jujur aku sangat kecewa dan sedih dengan perkawinanku saat itu, mereka sudah mengabaikan perasaanku tentang perkawinan. Hilang sudah keinginanku menikah dengan pesta yang indah, seserahan sebagai simbol pernikahan yang sakral, hiasan cantik wajahku seperti putri Cinderella semuanya sirna!
Tetap Mensyukuri Semua yang Ada
Aku terjebak dengan adat istiadat yang sudah diyakini dan diwarisi oleh keluargaku dari generasi ke generasi. Padahal adikku bisa saja melangsungkan pernikahannya walaupun aku kakaknya belum menikah, hanya ia harus membayar uang penganti atau istilahnya sebagai tanda terima kasihnya kepadaku sebagai kakak yang sudah mengiklaskan ia menikah duluan. Tetapi justru aku yang harus berbakti kepada orangtua sehingga keputusanku menikah yang secara mendadak justru menghancurkan keinginanku menikah dengan penuh kenangan indah.
Pernah suamiku menawarkan untuk merayakan pesta perkawinan kami setahun kemudian dan akan merayakan seperti keinginaku dan kebetulan kontrak kerjaku berakhir dan tentu saja aku sudah boleh menikah, tetapi karena rasa kecewaku terhadap adikku maka aku menolak. Yang sudah terjadi sudah kuanggap takdirku, jadi cukup kuingat bahwa memang aku tidak ditakdirkan jadi putri sehari!
Sementara pernikahan adikku dirayakan dengan prosesi pernikahan seperti layaknya pernikahan yang penuh dengan simbol yang sakral. ada seserahannya, pelaminan indah dan pesta dengan dihadiri banyak tamu. Kalau ingat tentang perkawinanku ada rasa sakit dan kecewa, sampai saat ini bila aku diundang pada acara pernikahan aku selalu mengingat bahwa betapa aku kurang beruntung dalam hal pesta pernikahan, tetapi aku harus sadar bahwa mungkin perkawinanku harus dilalui seperti ini dan aku harusnya bersyukur bahwa dari perkawinanku telah menghasilkan dua anak yang cantik dari pernikahan biasa kami dan masih tetap langgeng.
Aku berjanji pada diriku kelak bila masanya anakku menikah maka aku menginginkan sebuah pesta pernikahan seperti yang kuinginkan waktu kecil. Aku tidak ingin pernikahan anakku tidak memiliki makna dan kenangan indah karena aku sadar bahwa pernikahan bukan saja sebuah simbol tetapi pernikahan adalah bagian dari kenangan indah seorang wanita. Setiap wanita pasti ingin pernikahannya hanya sekali dan dikenang sepanjang masa hingga ajal memutuskan perkawinan tersebut.
Babel, 30 Juli 2019
#GrowFearless with FIMELA